Adsense Indonesia

Tuesday, December 15, 2009

Hutang Barat Terhadap Islam (The West's Debt to Islam)

Oleh : Adian Husaini

Itulah tajuk satu bab dari sebuah buku berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy. Di tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagi media di Barat saat ini, buku seperti ini sangat patut dibaca. Selain banyak menyajikan data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu, buku ini memberikan arus lain dalam menilai Islam dari kacamata Barat. Berbeda dengan manusia-manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam—seperti sutradara film “Fitna”, Geert Wilders—penulis buku ini memberikan gambaran yang lumayan indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya utang mereka terhadap Islam. “Utang Barat terhadap Islam,” kata, Tim Wallace-Murphy, “adalah hal yang tak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We in the West owe a debt to the muslim world that can be never fully repaid.”
Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu sangatlah penting, baik bagi Barat maupun Islam. Di mana letak utang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (The Middle Ages). Sejak beberapa bulan lalu, setiap hari, harian Republika, juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di masa lalu, yang memberi pengaruh besar terhadap para ilmuwan Barat.
Di zaman pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum muslimin menjadi pusat kebudayan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangat kontras. Bagi mayoritas masyarat di dunia kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutar, dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam.
Saat itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka berlomba-lomba memepelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum muslim dan Yahudi yang hidup nyaman dalam perlindungan masyarakat muslim. Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini, karena mereka berhasil mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan muslim.
Tenggelam oleh Kebencian
Faktanya, pandangan yang positif terhadap Islam—seperti yang disuarakan oleh Tim Wallace-Murphy—tenggelam oleh permainan opini dan politik kalangan Barat yang memiliki pandangan yang salah atau yang menyimpan dendam terhadap Islam. Dalam bukunya, Muhammad, a Biography of the Prophet (1996), Karen Amstrong menggambarkan keresahannya, bahwa di Eropa pada tahun-tahun belakangan ini, kebencian lama terhadap Islam mulai terus dibangkitkan. “Orang-orang Eropa mudah menyerang Islam, walaupun mereka hanya tahu tentang Islam,” tulis Amstrong, mantan biarawati yang banyak menulis buku tentang Islam, Yahudi, dan Kristen.
Tiga Skenario
Wacana untuk membangkitkan kewaspadaan khusus orang-orang Barat terhadap Islam tampak jelas dalam bukunya The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (2004). Sebagai bagian dari skenario kelompok neo-konservatif , yang antara lain terdiri atas kelompok Kristen fundamentalis dan kelompok Yahudi sayap kanan. Upaya membangkitkan kebencian lama Barat terhadap Islam bisa memiliki sejumlah tujuan.
1. Sebagai bagian dari upaya Eropa (juga masyarakat Barat) kembali sebagai satu kekuatan Kristen sebagaimana terjadi dalam Perang Salib yang dimulai tahun 1095.
2. Upaya mengalihkan dukungan masyarakat Eropa terhadap perjuangan Palestina.
3. Kepentingan dukungan politik dalam negeri negara tertentu.
Hingga kini, di kalangan Kristen fundamentalis, istilah “Crusade” masih sering digunakan. Peristiwa Perang Salib menunjukkan bahwa Eropa belum pernah bersatu, kecuali saat menghadapi Islam. Pada tahun 1095 Paus Urbanus II berhasil menggalang kekuatan Kristen, melupakan perbedaan antara mereka, dan bersatu padu melawan kekuatan Islam. Dalam pidatonya, Paus menyatakan bahwa bangsa Turki (muslim) adalah bangsa terkutuk dan jauh dari Tuhan. Maka, Paus menyerukan: “Membunuh monster tak ber-Tuhan seperti itu adalah suatu tindakan suci; adalah suatu kewajiban Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita.” (Killing these godless monster was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands). Karen Amstrong menggambarkan pengaruh Perang Salib terhadap masyarat Barat dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on to Today’s Wordl, (London: McMilan London Limite, 1991).
Skenario pengalihan dukungan masyarakat Barat terhadap Palestina juga sangat masuk akal, mengingat semakin menguatnya simpati dunia terhadap Palestina. Citra Israel dalam perang di Lebanon sangat babak belur. Israel dan Amerika gagal menempatkan Hizbullah dan Hamas sebagai musuh dunia, khususnya dunia Islam. Dengan membangkitkan sentimen lama tentang Islam di kalangan masyarakat Eropa, maka upaya pembentukan negara Palestina meredeka bisa digagalkan, setidaknya terus diundur.
Jatuhnya Konstantinapel merupakan pukulan berat bagi Eropa waktu itu. Meskipun Gereja Timur sudah mengalami konflik dengan Gereja Barat, tetapi untuk menghadapi Islam, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan Sultan Muhammad al-Fatih. Hanya saja, di kalangan pemuka agama Romawi Timur sendiri muncul perpecahan. Mereka ada yang lebih suka bergabung dengan Turki Utsmani ketimbang bersatu dengan Paus. “I would prefer seeing the Trukish turban in Byzantium rather than the Crdinal’s hat,” kata Granduke Notaras, seorang tokoh Kristen Byzantine.
Karena begitu mudahnya sentimen anti-Islam dibangkitkan–terutama melalui media massa di Barat yang banyak dikuasai kelompok tertentu–maka para politisi di Barat juga tidak jarang menggunakan isu ‘sentimen anti-Islam’ untuk meraih dukungan politik. Bukan hal itu yang sulit dibaca, bahwa dukungan rakyat AS terhadap George W. Bush sangatlah kecil. Tetapi, setelah peristiwa 11 september itu, dukungan terhadap Bush melonjak tajam.
Bukti Kebenaran Al-Qur’an!
Munculnya kasus film “Fitna” garapan Geert Wilders semakin membuka mata kita akan latennya kebencian dan dendam yang tidak berkesudahan dari kalangan Yahudi-Nasrani terhadap Islam. Film ini muncul tidak lama sesudah hebohnya pemuatan sejumlah kartun yang melecehkan Nabi Muhammad saw. Kaum muslim juga masih mengingat dengan baik ucapan Paus Benediktus XVI yang juga melecehkan Nabi Muhammad saw. Bagi kaum musimin, peristiwa ini tentu saja sangat menyakitkan. Kaum muslim tidaklah sama dengan kaum Kristen Leberal di Barat yang dengan mudahnya membiarkan saja pelecehan-pelecehan terhadap Tuhan mereka. Atas nama kebebasan (liberalisme), mereka membiarkan saja Jesus dilecehkan, melalui berbagai film.
The Times, edisi 28 Juli 1967, pernah mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967, yang mempersolkan mengapa Jesus tidak menikah. Ada tiga kemungkinan untuk itu. Mungkin Jesus tidak mampu menikah, mungkin tidak ada perempuan, atau mungkin dia seorang homoseksual.
Semua ‘kekurangajaran’ kepada Jesus itu biasa berlaku bagi mereka. Tetapi, Islam tidak sama dengan mereka. Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling banyak disebut namanya di dunia ini. Selama 24 jama penuh, umat Islam di seluruh dunia tidak pernah berhenti menyebut namanya. Sepanjang zaman, kaum muslimin siap-siap mengorbankan nyawanya demi kehormatan Nabi yang mulia. Ibnu Taimiyah rhm. menulis satu kitab khusus tentang pelecehan terhadap Nabi, yaitu Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul. (Pedang Yang Terhunus untuk Penghujat Sang Rasul).
Peristiwa pelecehan Nabi Muhamamd saw. dan kepada Islam yang datang bertubi-tubi memang begitu menyakitkan hati kita sebagai kaum muslim. Tetapi, di samping itu, kita mengambil hikmah dari kasus ini. Kasus ini membuktikan bahwa Barat tidak tahu berterima kasih terhadap Islam. Kasus ini sekaligus juga membuktikan kebenara Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali Imran: 118)
read more...

Nasehat Kepada Aktifis

Dr.Najih Ibrahim

Belum lama ini, tidak sedikit bermunculan aktivis dan ulama yang mulai tenar. Sebutlah seperti Syaikh Muhammad Hassan, Dr. ‘Aid Al-Qarni, Khalid Al-Jundi, ‘Amru ‘Abdul Kafi, Mahmud Al-Mishri, Thariq Sudani, ‘Amru Khalid, Khalid ‘Abdullah, Muhammad Hidayah, dan selain mereka yang telah sangat berjasa kepada Islam dalam berdakwah mengingatkan manusia terhadap Sang Pencipta, mendekatkan manusia kepada kebenaran, mendorong mereka untuk masuk Islam, dan selalu menasihatkan untuk berbuat kebaikan.
Saya sebenarnya tidak suka menggunakan istilah “aktivis baru”, karena itu akan mengurangi tingkat kredibilitas mereka. Tapi, karena mereka sudah dikenal dengan istilah tersebut dan sudah menjadi ciri bagi mereka, maka saya menggunakan istilah tersebut sekadar untuk memperjelas saja. Setiap aktivis tersebut mempunyai kelebihan yang membedakan antara satu dengan lainnya. Mereka mempunyai metode berdakwah sendiri-sendiri. Dan, metode berdakwah mereka pun diikuti oleh murid-muridnya atau para pengikutnya.
Yang membedakan para aktivis yang sekarang lagi naik daun itu dengan aktivis lainnya adalah mereka mampu mengembangkan metode dakwahnya, dan selalu memperbaruinya. Mereka mempunyai metode yang sangat bagus dan baru.
Mereka menyampaikan materi dakwah dengan cara ilmiah dan berbobot. Ini merupakan cara yang tepat, menghubungkan materi dakwah dengan kehidupan manusia, dan perhatian terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat. Semua itu menjadikan dakwah mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam jiwa manusia.
Kalaulah bukan karena munculnya para aktivis tersebut pada beberapa tahun terakhir, sungguh dakwah Islam akan beku, ketinggalan zaman, sedikit pengaruhnya, dan kurang mendapat sambutan. Kalaulah bukan karena jasa mereka, sungguh dakwah ini belum akan sampai ke berbagai belahan masyarakat yang sebelumnya tak terjangkau oleh gerakan Islam lainnya.
Meskipun saya belum pernah berjumpa dengan salah seorang ulama yang sedang naik daun tersebut, tapi saya akan mengikuti semangat mereka bila hal itu memungkinkan bagiku. Tapi, yang memprihatinkan justru serangan terus-menerus ditujukan kepada mereka, baik dari sebagian kaum muslimin, orang-orang sekuler, ataupun dari orang-orang yang beraliran kiri pada waktu yang bersamaan. Dalam menghadapi serangan dari orang-orang sekuler pada hari ini, orang-orang ateis, ataupun orang-orang yang beraliran kiri zaman dahulu, mungkin kita sudah paham. Yang paling menyakitkan adalah serangan itu berasal dari pihak kaum muslimin secara khusus ataupun dari sebagian mereka secara umum.
Ada beberapa buku yang isinya jelas-jelas mencela Syaikh ‘Amru Khalid. Ada pula beberapa kaset yang menyerang mereka tanpa memperhatikan lagi etika dalam perselisihan. Bahkan, saya pernah membaca catatan seorang lelaki dalam makalah terakhirnya yang berupaya memerangi mereka secara anarkis dalam salah satu situs internet.
Dalam masalah ini, yang ingin saya katakan kepada para aktivis muslim umumnya dan terkhusus kepada orang-orang yang suka mencela, bahwa tidak ada seorang aktivis, berilmu, murabby, orang bijak, ataupun lainnya yang terlepas dari cacat ataupun aib. Hendaknya para aktivis berumalah dengan menggunakan kaedah, “Bila airnya sudah mencapai dua qullah, maka tidak najis.”
Mereka ibarat sungai mengalir dari sumber kebaikan dan keberkahan. Bila dakwah mereka sedikit ada cacatnya dan salahnya atau tergelincir, maka tidak akan membahayakan. Dengan izin Allah, sungai kebaikan mereka tidak akan kotor karena kesalahannya, dan aliran dakwah mereka tidak akan membahayakan, insya Allah. Tapi, dakwah mereka justru akan dinaungi kebaikan dan keberkahan selama mereka ikhlas karena Allah. Cahaya kerasulan dan kenabian akan menjadi petunjuk di bumi. Saya sendiri telah menulis buku secara terperinci dengan judul Apabila Airnya Mencapai Dua Qullah, maka Tidak Najis.
Saya berharap kepada kaum muslimin untuk membaca bab ini secara khusus dan keseluruhan buku ini secara umum. Karena, membaca dan mengaplikasikannya akan menghindarkan harakah Islamiah dan kaum muslimin secara umum dari menyebut-nyebut kekurangan mereka, menyakiti mereka, dan mencela mereka terus-menerus. Di samping itu, juga menghindari membahas kesalahan-kesalahan mereka dari mengabaikan kebaikan dan keutamaan mereka, dan tidak menghormati dan menghargai keutamaan mereka.
Hadits yang berbunyi: “Apabila airnya telah mencampai dua qullah, maka tidak najis” (HR Bukhari no. 3598) pada dasarnya digunakan dalam masalah fikih, pada bab thaharah (bersuci). Walaupun demikian, kaedah tersebut merupakan kaedah paling penting bagi para da’i dan murabby (pendidik) untuk bermuamalah dengan makhluk. Artinya, bila manusia mempunyai banyak kebaikan dan keutamaan, maka kesalahan dan cacat yang kecil tidak menghapus kebaikannya. Barang siapa kebaikannya melebihi kejelekannya, keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya dimaafkan, karena ia mempunyai berbagai keutamaan, dan keburukannya akan terkubur oleh lautan kebaikannya.
Pada bab ini terdapat kisah seorang sahabat, Hatib bin Abi Balta’ah, yang sangat menarik. Ketika amalan kebaikan hijrahnya dan keikutsertaannya dalam Perang Badar bersama Rasulullah saw. lebih berarti daripada kesalahannya ketika membocorkan rencana Rasulullah dan para pasukannya untuk menaklukkan kota Mekah. Apa yang dikatakan Rasulullah kepada Umar ketika ia berkeinginan membunuh sahabat Hatib bin Balta’ah karena telah membocorkan rencana tersebut? “Wahai Umar, tahukah kamu mengenai pahala orang yang mengikuti Perang Badar? Sungguh Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut Perang Badar, ‘Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” (HR Bukhari no. 4066).
Sahabat Utsman bin Affan pernah tidak ikut dalam Perang Uhud. Perbuatan itu sebenarnya tercela. Tapi, apa pengaruh perbuatan itu terhadap kebaikannya yang begitu besar? Beliau adalah seorang yang diridhai oleh Allah dan termasuk orang yang pertama kali masuk Islam, suaminya kedua anak Rasulullah saw., Ruqayah dan Ummu Kultsum, dan seorang yang malaikat malu dengannya. Beliau juga yang meluaskan masjid Nabawi dengan hartanya sendiri, membeli sumur dan diberikan kepada kaum muslimin, dan beliau juga termasuk yang sangat besar andilnya dalam mempersiapkan tentara ‘Usrah. Sehingga, pada hari itu Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang dilakukan Utsman sesudah hari ini tidak akan mencelakainya.” (HR Tirmidzi no. 3634). Maknanya, kebaikannya yang begitu besar tidak akan ternodai oleh kesalahannya yang sedikit setelah hari itu. Kalaulah sekelompok orang dari Mesir dan Irak yang memberontak kepada Utsman mengetahui makna yang agung ini, sungguh mereka tidak akan melakukannya. Bagaimana mereka akan membunuhnya, sedang beliau adalah seorang yang memberi air minum kepada ribuan para sahabat dari sumur miliknya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang bodoh lagi penghianat. Innalillahi wa innalillahi raji’un.
Perhatikan pula kisah Khalid bin Walid. Beliau telah salah membunuh Bani Jadzimah, sedang mereka adalah kaum muslimin. Bahkan, ketika itu Rasulullah saw. pun sampai berlepas diri dari perbuatannya tersebut. Tapi, kebaikannya pun menghapuskan kesalahannya. Beliau telah menghancurkan kelompok Musailamah Al-Kadzab dan orang-orang yang murtad. Kalaulah beliau tidak memiliki selain kebaikan ini, maka itu sudah cukup baginya. Karena jasanyalah, sebagian besar wilayah Arab dapat direbut kembali. Beliaulah yang telah menaklukan sebagian besar wilayah Syam dan Persia. Dan, berapa banyak bendera tauhid yang telah menyertai jihadnya?
Pengiyasan yang sama disebutkan oleh Saifuddin Qathaz dan Dzahir Bibarsi, kiyasan yang terangkum dalam untaian kata yang sangat indah: “Bila orang yang kita cintai berbuat satu kesalahan, maka datang seribu kebaikannya sebagai syafa’at.”
Dalam menghukumi manusia, terkhusus para ulama, maka yang paling adil adalah orang yang mengaplikasikan kaidah Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, “Orang yang munshif (adil) adalah orang yang memaafkan kesalahan kecil seseorang karena ia mempunyai banyak kebaikan.” Atau, bisa juga kita menggunakan kaidah syar’i dalam masalah fikih bahwa dalam menetapkan hukum adalah berdasarkan kebanyakan, tidak yang sedikit.
Oleh karena itu, bagi para aktivis yang sering mencela dan menyalahkan para ulama yang sedang naik daun tersebut ataupun ulama lainnya, hendaknya mereka mengingat perkataan sayyid (tuannya) para tabi’in, Sa’id bin Musayyib, “Tidaklah ada orang yang memiliki jabatan, kemuliaan, dan berilmu, kecuali pasti punya aib. Tapi, bila kebaikan dan keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya dimaafkan karena keutamaannya.”
Adapun sekarang ini banyak aktivis yang mencela Syaikh Qardhawi dan Asy-Sya’rawi. Bahkan, mereka menulis berbagai buku yang isinya mencela para ulama. Sementara, kelompok lain ada yang mencela Syaikh Ibnu Baz rhm. dan Ibnu Utsaimin rhm. Padahal, mereka semua adalah para ulama, yang mengkhidmatkan hidupnya untuk Islam sejak tumbuhnya kuku-kuku mereka sampai akhir hayatnya.
Wahai pengikut sunnah, tidakkah kamu melihat orang Syi’ah, bagaimana mereka menghormati ulama mereka? Yang kita inginkan sebagai pengikut sunnah bukan untuk mengkultuskan mereka atau meyakini kemaksuman mereka seperti keyakinan Syi’ah. Tapi, yang kita inginkan hanyalah bagaimana etika kita terhadap para ulama yang hanya memiliki sedikit kesalahan.
Demi Allah, Qardhawi, Sya’rawi, ‘Abdul Halim Mahmud, Abu Zahrah, Al-Buthy, Dr. Salim Al-‘Awwa, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan Abdullah bin bayyah, sungguh mereka mempunyai kredibilitas dan kelebihan masing-masing. Lalu, apakah mereka yang suka mencela tidak malu dengan hal ini?
Saya tidak mengesampingkan akan adanya berbagai surat kabar, majalah, dan orang-orang sekuler yang selalu menyerang mereka siang dan malam. Tapi, mereka tidak pernah berhenti dalam berdakwah. Hal itu, karena mereka menginginkan supaya dakwah Islam ini maju dan berkembang. Setiap ulama atau aktivis pasti ada yang sukses dan ada pula yang gagal.
Ada pula ulama yang sudah banyak melakukan kebaikan, tapi tetap saja manusia di sekelilingnya memusuhinya. Hal ini terjadi pada masa Syaikh Asy-Sya’rawi. Beliau telah banyak berbuat baik dan telah membantu mengentaskan berbagai kemiskinan. Tapi, apa yang diperbuat oleh mereka? Sesudah itu, mereka kembali memusuhinya. Makalah ini tidak aku maksudkan untuk mereka, tapi aku maksudkan untuk para genarasi muda muslim, para aktivis yang aktif di berbagai gerakan Islam dan umumnya untuk kaum muslimin yang mengikuti sunnah. Saya berharap kepada mereka untuk selalu menyemangati dan membantu para ulama tersebut.
Sesungguhnya sudah menjadi hal yang wajar bila kita menyelisihi pendapat mereka pada beberapa hal tertentu. Contohnya antara Syaikh Qardhawi dengan Syaikh ‘Amru Khalid. Keduanya berbeda pendapat dalam masalah akan wajibnya pergi ke Denmark untuk memprotes pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw. Dan, menjadi kewajiban kita juga untuk mendiskusikan pendapat mereka dengan etika yang benar dan tetap menghormati mereka. Tapi, perlu kita ketahui bahwa bukan menjadi kewajiban kita untuk mencela pribadi mereka atau ragu terhadap niatan mereka, atau bahkan berburuk sangka kepada mereka. Karena, hal itu bagi orang awam bukanlah bagian dari akhlak islami, terlebih bagi para aktivis dan ulama.
Mulai hari ini, saya mengajak para aktivis secara khusus, dan para pengikut sunnah secara umum, untuk memulai dengan lembaran baru. Menjaga lisan kita dari mencela orang-orang yang berbuat kebaikan dan banyak memiliki keutamaan, sekalipun telah tampak jelas kesalahan mereka. Tapi, kebanyakan mereka berbuat salah karena setelah berijtihad, bukan karena hawa nafsu ataupun karena pembangkangan. Kalaulah kita menasihati mereka dengan sembunyi-sembunyi, dengan surat, atau dengan email khusus, maka sungguh itu lebih baik bagi kita dan mereka.
Kalaulah kita mendo’akan mereka dengan kebaikan, petunjuk, dan kebenaran, seperti halnya mereka telah mendo’akan kita, tentulah itu lebih baik bagi kita dan mereka. Tapi, kenapa kita tidak mencintai mereka sebagaimana mereka mencintai kita? Kenapa kita justru berusaha menjatuhkan martabat mereka? Padahal, kita itu orang yang sedikit kebaikannya. Adapun mereka begitu besar kebaikannya dalam berdakwah kepada Allah.
Adapun terhadap musuh-musuh Islam, seperti orang-orang sekuler, orang-orang kapitalis, atau lainnya, itu pembahasan lain. Di sini saya tidak membahas mereka. Tapi, yang paling utama saya perhatikan adalah mereka yang kita harapkan dapat berbuat baik untuk agama ini. Semoga Allah memberi taufik bagi seluruh aktivis dan ulama yang menyerukan kepada hidayah Allah dan kebenaran.
Sumber: Diadaptasi dari “Al-Harakah Al-Islamiyah wad Du’at Al-Judud”, Dr. Najih Ibrahim (Situs Almokhtsar, 10 Maret 2008)
read more...

Menghujat Islam - Meraih Popularitas

Ust. Ahmad Salimin Dani

Thursday, 17 April 2008
Kedengkian orang Yahudi dan Kristen
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).' Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah: 120).
"Mereka tidak pernah berhenti-henti memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu murtad dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."
(Al-Baqarah: 217).

Kebencian Orang Kafir terhadap Mukmin
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan mereka berkata: 'Kami beriman;' dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari mereka lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): 'Matilah kamu karena kemarahanmu itu.' Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati." (Ali Imran: 118-119).
"Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zhalim." (At-Taubah: 47)

Larangan Mengikuti Orang Kafir
"Hai orang-orang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman." (Ali Imran: 100).

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik penolong." (Ali Imran: 149-150).
Orang Kafir pada Hakikatnya Jahat
"Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (Al-Bayyinah: 6).

Penghujat Negeri Kincir Angin

Berapa banyak orang seperti Geert Wilders yang diperluka untuk mengubah Belanda menjadi arena perang saudara "warga asli" lawan "pendatang"? Tak banyak!
Yang terang, Geert Wilders, 44 tahun, tidak sedang bicara kepada 1,3 warga muslim keturunan imigran di negerinya, manakala film "Fitna" masuk internet dan menuai protes hebat, dua pekan lalu. Terus terang dari kebanyakan para pendatang yang berkulit gelap, berambut keriting, dan berasal dari Afrika Utara, yang bergulat dengan masalah identitas dan keterpurukan ekonomi itu, ia tidak bisa berharap banyak. Wilder juga tidak tertarik menawarkan solusi yang bersahabat untuk pendatang terpinggirkan itu. Tapi dari segelintir imigran berpandangan radikal, Wilders memperoleh banyak amunisi yang kemudian disulapnya menjadi senjata politik ampuh.
Tewasnya produser film Theo van Gogh empat tahun silam di sebuah jalan di Amsterdam mengantar Wilders masuk ke dunia parlemen Belanda yang sangat berkuasa. Pembunuhan yang menggemparkan negeri Kincir Angin itu dilakukan seorang pemuda imigran muslim. Korban dihabisi dengan brutal, dan mujahid tidak menyesali perbuatannya. Masyarakat Belanda marah dan hangus hatinya melihat kejadian itu sekonyong-konyong menemukan orang muda yang tepat untuk menghadapi semua ini. Ia Geert Wilders, politikus muda bermulut tajam yang menyerukan penghentian arus imigran ke Belanda selama lima tahun sejak 2004, juga pengetatan pengawasan kontong-kantong minoritas beragama Islam.
Wilders yang beraliran ultranasionalis itu pintar menyuburkan sterotip, menanamkan sentimen anti-imigran dan anti-Islam. Film "Fitna" bikinannya sarat dengan rekaman pesawat yang menghantam menara kembar WTC di New York pada 11 September 2001, rekaman korban pengeboman di Madrid dan London, untuk menjelaskan surat Al-Anfal ayat 60. Dengan cara mempolitisasi maknanya. Wilders mengatakan, ayat ini meneror lawan Islam. Padahal, itu satu ayat Al-Qur'an yang berisi perintah untuk menggetarkan hati musuh-musuh Allah yang mengancam dengan melibatkan kesiapan dan persenjataan perang yang lengkap untuk mempertahankan eksistensi umat (deterrent effect).
"Fitna" yang berdurasi 17 menit dan diisi lima kali pembacaan ayat Al-Qur'an itu kemudian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan seruan: Stop Islamisasi! Bela kebebasan kita!

Tentu saja Wilders tidak bicara kepada minoritas muslim, tapi kepada mayoritas kulit putih Belanda yang merasa terancam oleh kaum pendatang. Ia menggunakan kata "kita" untuk menghimpun warga asli Belanda yang bekulit putih dan tidak beragama Islam, untuk menghadapi musuh bersama: kaum imigran muslin. Di mata Wilders, selalu ada Belanda yang terpecah dan selalu ada konflik yang tak berujung: "kita" lawan "mereka". Ia gemar mengulang penjelasan yang sederhana tentang sejarah Eropa kontemporer: "Pada tahun 1945 kita menghabisi fasisme Nazi, pada 1989 kita mengalahkan komunisme, dan sekarang kita menghadapi ideologi Islam."

Wilder, Ketua Fraksi Partai Kebebasan (PVV) di parlemen, banyak diuntungkan oleh perkembangan ini. Ia piawai mengubah rasa takut menjadi kebencian serta merrduksi demografi Belanda menjadi "kita" dan "mereka". Soal kampanye Wilders akan laku atau malah akan menyerang balik kredibilitasnya, itu tergantung logika dan akal sehat warga Belanda. Itu juga akan ditentukan oleh daya tahan masyarakat Belanda, termasuk masyarakat muslimnya sebagai satu satu kesatuan, dalam menghadapi gempuran retorika Geert Wilders yang memecah belah.

Orang-orang Wilders akan terus hadir. Tapi, dari pengalaman kita selama ini, ada satu resep yang mungkin bisa ditawarkan: resistensi sebagai bangsa dan senstivitas terhadap aspirasi religius orang lain. Dan yang pasti, umat Islam saat ini merupakan komoditi terlaris untuk dapat diperdagangkan bagi orang yang ingin melejit namanya. Karena, masyarakat dunia yang dikuasai Zionis dan Palangis saat ini sedang ketakutan menghadapi serangan balik umat Islam atas dosa-dosa mereka yang telah membunuh banyak jiwa yang tak bersalah, seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, Libanon, dan Balkan.

Fitna dari Belanda

Kita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi advertensi. Jika kita teriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar kepada sekelompok manusia dengan teriakan yang cukup keras, kita akan menarik perhatian orang ramai. Bahkan akan dapat dukungan. Itulah yang sedang dilakukan oleh Wilders. Dia tahu betul hal itu. Dalam umurnya yang ke-44 tahun, politikus Belanda ini ialah sosok yang cocok bagi zaman celaka seperti sekarang. Tiap kali ia mencaci maki orang imigran muslim yang hidup di Negeri Belanda, ia dengan segera tampak mumbul seperti balon jingga di langit Den Haag.
Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, inilah yang dikatakannya: "Jika orang muslim ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan membuang setengah dari isi Al-Qur'an." Katanya pula: "Jika Muhammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar ia diolesi ter dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstrimis, lalu diusir ...."

Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat Wilders sebagai "politician of the year". Para wartawan surat kabar yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan ringkasnya yang panas, dan tentu Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk tangan yang meriah. Karena, sikap kebencian kepada umat Islam menjadikan tempat yang strategis dalam percaturan kehidupan bangsa barat saat ini.

Nasib Penghujat Islam

Pada awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Islam, Muhammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar kebencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan melimpah ke partai yang dipimpin Wilders. Dan ini terbukti bahwa warga Belanda yang didominasi Yahudi benar-benar sedang kebingungan menghadapi pertumbuhan penduduk umat Islam. Sebuah jajak pendapat mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29 dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlangsung setelah pembunuhan yang mengerikan itu.
Kini bisa diperkirakan film "Fitna" yang kontroversial ini akan membuat Wilders lebih berkibar-kibar, terutama jika benci yang ditiup-tiupkannya disambut, jika orang-orang Islam meledak, mengancam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan memperoleh sesuatu yang lebih, bila kekerasan yang terjadi dalam menyikapi film "Fitna". Karena, film itu dibuat oleh Wilders untuk menunjukkan betapa brutalnya ajaran Islam. Dari itu, umat Islam harus bijak dan mengutamakan strategis yang jitu untuk memukul balik hujatan ini, agar Wilders dan yang lainnya tidak numpang populer dari kasus penghujatan yang mereka buat.

Saya menonton film ini di internet. Isinya repititif. Apa maunya sudah dapat diperkirakan. Dimulai dengan karikatur terkenal di Denmark, karya Kurt Westergaard penghujat Nabi saw. itu, gambar seorang berpipi tambun dengan bom di kepala sebagai sorban hitam, yang dikesankan sebagai "potret" Nabi Muhamad saw. Film ini adalah kombinasi antara petikan teks Qur'an dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih membacakan ayat yang dimaksud, dan klip video tentang kekerasan dan kata-kata benci yang berkobar-kobar.

Ayat 60 dari surat Al-Anfal ditampilkan pada awal "Fitna". Yaitu, perintah Allah agar umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh diikuti oleh potongan film dokumentar ketika pesawat terbang itu ditabrakkan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Kemudian, tampak pengeboman di kereta api Madrid. Setelah itu, seorang imam tak disebutkan namanya bangkit dari asap, menyatakan: "Allah berbahagia bila ada orang yang bukan muslim terbunuh."
Pendek kata, dalam "Fitna", Al-Qur'an adalah kitab suci yang mengajarkan kebencian yang memekik-mekik dan tidak biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Qur'an, baginya adalah "buku fasis" yang harus dilarang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein Kampf Hitler. Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.
Salahkah Wilder? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Al-Qur'an secara keseluruhan, "Saya lebih suka kitab sucinya." Sang penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilder hanya memilih ayat-ayat Qur'an yagn cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Al-Qur'an hanya deretan pendek petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri.

Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar, ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaedah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam yang akan membakar emosional disebabkan karena prilaku orang lain yang menonjolkan kezhaliman. Hal itu dapat dilihat seperti perilaku Salman Rusdi, Kurt Westergaard, Wilders, Theo van Gogh dan lainnya.

Penghujat Negeri Prancis dan Inggris

Pada kurun sekarang, pandangan seperti itu apa boleh buat tidak mudah berakhir. Ada sejarawan yang bernama Prancis Fukuyama, penuls The End of History, yang dalam sebuah seminar di Brooking Instute meyakini ancaman serius dari elemen masyarakat Eropa yang radikal. Ada seorang Bernard Lewis, sejarawan Inggris di Universitas Princeton, Amerika, yang membayangkan Benua Eropa menjadi bagian dari dunia Arab pada penghujung abad ini. Ia melihat ini sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk yang tinggi di kalangan imigran keturunan Arab Eropa. Dan terkahir, berita statistik dari Vatikan yang dimuat dalam surat kabar Osservatore Romano, yang menyebut bahwa jumlah pemeluk muslim telah melampui pemeluk Katolik. Jumlah orang Islam mencapai 19,2 persen dari penduduk dunia, sedangkan orang Katolik meliputi 17,4 persen, meskipun penganut Kristen secara keseluruhan masih mayoritas dengan 33 persen.
Don Quitxote Penghina Tuhan
Atas nama kebebasan berekspresi, para intelektual, seniman, dan politikus tak kapok membakar amarah umat Islam. Geert Wilders memancing kemarahan umat Islam. Sebelumnya, ada sederet nama yang berhasil mengguncang dunia dengan kartun, film, atau fiksi ciptaan mereka yang menghujat Islam.

Bagi umat Islam, tindakan Wilders dan kawan-kawannya ini merupakan penistaan yang harus dibalas. Tapi, bagi kelompok moderat, mereka dianggap tidak lebih oportunis yang mempromosikan ketakutan dan kebencian. "Dia rada gila", karena memberikan kesan pada sejumlah orang bahwa ia akan memerangi Islam. Ia semacam Don Quixote, yang berjuang melawan sesuatu dan menampilkan tujuan yang tak pernah terjadi, kata Ketua Dewan Nasional Maroko Mohammaed Rabbae.

Kurt Werstergaard telah menjadi sasaran kemarahan karena 12 kartun Nabi Muhammad saw. buatannya dipajang di koran Denmark, Jyllands-Posten, pada 30 September 2005. Kita, umat Islam, dilarang melukis Nabi Muhammad saw., dan kemarahan kita makin berang, karena Nabi Muhamamd yang kita kagumi digambarkan sebagai sosok teroris, yaitu dengan gambar memakai sorban berbentuk bom yang siap meledak dan berhiaskan dua kalimat syahadat dalam aksara Arab.

Gelombang protes di negara berpenduduk meyoritas muslim tak terbendung. Korban pun berjatuhan. Di Somalia seorang remaja 14 tahun ditembak mati ketika massa menyerang polisi yang menghalang-menghalangi mereka berdemo. Di Afghanistan, lima orang tewas. Koran Jyllands-Posten meminta maaf, tapi ngotot menyatakan tindakan mereka tidak melanggar hukum Denmark. Begitulah sikap negara kafir yang hanya mempermainkan umat Islam.

Ketika kemarahan mulai reda, pada 1 Februari 2006, koran Prancis, France Soir, serta Die Welt di Jerman, La Stampa di Italia, dan El Periodico di Spanyol kembali memuat kartun tadi. Di bawah tulisan, "Ya, kami berhak menggambar Tuhan," France Soir memasang citraan Tuhan dalam agama Budha, Yahudi, Islam, dan Kristen melayang di awan. Setelah itu, masyarakat muslim di Prancis meradang terus- menerus diteror kaum kuffar.

Apakah penghujat kapok? Tidak. Koran Denmark, Jyllands-Posten, Politiken, dan Berlingske Tidende, mencetak kembali kartun sorban berhias bom karya Westergaard itu pada 13 Februari lalu. Redaktur koran itu mengatkan tak seorang pun harus merasa terancam jiwanya karena menggambar. "Kami melakukan ini untuk mendukung kebebasan berpendapat." Lalu apakah kita masih menaruh harapan kepada orang kafir yang tidak mau menghormati keyakinan kita?

Sebelum umat Islam disulut emosionalnya dengan karikatur Westergaard, novelis warga negara Inggris kelahiran India, Salman Rushdie, 61 tahun, menerbitkan novel berjudul "Satanic Verses" pada tahun 1988. Dalam novel itu, dikisahkan Nabi Muhammad lewat tokoh Mahound menambahkan beberapa ayat Al-Qur'an. Tapi Mahound kemudian mencabutnya karena ayat itu hasil godaan syaitan. Ayat itulah kemudian disebut ayat-ayat setan. Narator dalam buku ini menyatan kepada para pembaca bahwa kekacauan ayat itu berasal dari mulut Malaikat Jibril.

Jagat Islam pun gempar. Radio Teheran menyiarkan fatwa pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini, pada 14 Februari 1989. Isinya memerintahkan umat Islam membunuh Rushdie. Menurut Khomeini, buku Rushdie menghina Tuhan dan Islam.
Sejak itu, Rushdie bersembunyi. Pada Maret 1989, Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris. Korban tewas pun berjatuhan dalam kerusuhan aksi protes di negara Muslim. Toh, Ratu Elizabeth II pada Juni 2007 memberi Rushdie gelar bangsawan kesatria. Rushdie pun bisa mencantumkan kata "Sir" di depan namanya.
Nasib Theo van Gogh lebih tragis. Kerabat pelukis abad ke-19, Vincent van Gogh, membuat film berdasarkan buku karya bekas anggota parlemen Belanda asal Somalia, Ayaan Hirsi Ali. Film berjudul "Submission" itu bercerita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam masyarakat muslim dengan menunjukkan adegan menorehkan ayat Al-Qur'an pada tubuh perempuan setengah telanjang.

Vonis pun dijatuhkan secara sepihak kepada Muhammad Bouyeri, 26 tahun, imigran asal Maroko. Ia mencegat Theo Saat bersepeda di satu jalan sepi di Amsterdam dan membunuhnya. "Hukum mewajibkan saya memotong kepala siapa saja yang menghina Allah dan Nabi," ujar Bouyeri dalam sidang pengadilan.

Belum surut badai protes pada Wilders, Gantian Ehsan Jami, 22 tahun menyulut api. Anggota parlemen Belanda keturunan Iran ini sedang membuat film animasi bercorak komedi berjudul "Kehidupan Muhammad". Film ini terfokus pada malam pernikahan Nabi dengan seorang perempuan berusia sembilan tahun. Sebuah upaya mencari popularitas dengan jalan pintas.

Orang seperti Wilders akan terus hadir. Tapi, dari pengalaman kita selama ini, ada satu resep yang mungkin bisa ditawarkan: resistensi sebagai bangsa dan sensitivitas terhadap aspirasi religius orang lain. Dan yang pasti, umat Islam saat ini sedang menjadi komoditi terlaris untuk dapat diperdagangkan bagi orang yang ingin melejit namanya. Karena, masyarakat dunia Zionis dan palangis saat ini sedang ketakutan menghadapi serangan balik umat Islam atas dosa-dosa mereka yang telah membunuh banyak jiwa yang tak bersalah, seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, Libanon, dan Balkan.

Oleh: Ust. Ahmad Salimin Dani (Disampaikan pada acara Semalam Bersama Dewan Dakwah Islamiyah Bekasi, di masjid Nurul Islam Islamic Center Bekasi, Sabtu (12/04).

read more...

Menangkal Pemurtadan - Kristenisasi

Ust. Farid Ahmad Okbah, MA

Mukaddimah
Gejala pemurtadan yang dialami umat Islam di Indonesia mengalami eskalasi yang luar biasa. Hal itu ditandai dengan data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1990, tercatat bahwa dari 200.000.000 (dua ratu juta) jiwa, prosentasi umat Islam mencapai 87,3% (dibulatkan menjadi 90%). Sementara umat Kristen protestan hanya 6%, umat Katolik hanya 3,6%, Hindu 1,8%, Budah 1% dan agama lain 0,3%. Sebagai mujahid kita tidak boleh berbangga dengan besarnya angka-angka mayoritas di atas, sebab data-data terkini mencatat bahwa jumlah umat Islam menurun drastis dari 90% menjadi 75% (Tabloid STAR edisi no. 43, tanggal 18-24 Nopember 1999, hal. 41).
Oleh karena itu, kita sebagai umat bertanggung jawab untuk menyelamatkan mereka yang menjadi target pemurtadan tersebut. Semoga dengan mengungkap fakta dan data realitas pemurtadan yang dialami oleh umat Islam dapat kiranya memperoleh perhatian serius untuk membuat langkah-langkah kongkrit guna menangkalnya. Karena, membela agama adalah kewajiban dasar bagi setiap muslim.
Tiga Serangkai
Kristenisasi, orientalisme dan penjajahan menjadi tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Masing-masing mempunyai tugas untuk menghancurkan umat Islam.
Kristenisasi bertugas untuk merusak akidah, orientalisme memporak-porandakan pemikiran Islam dan penjajahan melumpuhkan fisik.
Mereka bersusah payah siang malam untuk memadamkan cahanya agama Allah. Namun, walau bagaimana pun akhirnya kemenangan berada di pihak Islam.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sedang Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahanya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci," (at-Taubah: 32).
Penjajahan fisik sudah berakhir di dunia Islam, namun tujuan penjajahan masih terus dicanangkan dan dijalankan oleh kristenisasi dan orientalisme. Hanya saja sarananya berbeda. Sarana yang dipergunakan oleh musuh Islam yang dimotori oleh jiwa kristiani adalah planning budaya melalui lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, yayasan penyantun, bantuan-bantuan, media cetak, media elektronika dan sebagainya.
Pada tahun 1924, Raymond Lull berhasil menemui Paulus V. Dia mengajukan dua buku yang mencakup dua rancangan Lull untuk mengkristenkan umat Islam.
Pertama, menjadikan ilmu dan sekolahan sebagai sarana kristenisasi. Kedua, kristenisasi dengan kekerasan jika tidak dapat dicapai dengan cara halus, (lihat al-Isti'mar wat Tabsyiir, Dr. Umar Farukh dan Dr. M. Khalidi, hal. 77).
Adwin Balls menyatakan dalam bukunya Sejarah Ringkas Misionarisasi, bahwa Raymond Lull yang berkebangsaan Spanyol, sebagai orang pertama yang mengemban kristenisasi di dunia Islam setelah kegagalan Perang Salib.
Ia besusah payah belajar bahasa Arab dan berkeliling dunia Islam untuk mendebat ulama Islam, (lihat La Couquette Du Monde Musulman, A. Le Chatelier, terjemahan M. Khatib, hal. 29 dan 262).
Tujuan utama misionaris zending adalah menyeret orang-orang Islam ke Kristen. Jika hal itu sulit dilakukan, maka akan ditempuh dengan cara mengaburkan pengertian Islam bagi mereka. Dari segi religi, apakah mereka masuk Kristen atau tetap Islam, itu tidak penting. Segi politik, misioner sebagai antek-antek dan mata-mata penjajah Eropa demi merusak kesatuan Islam. Tujuan itu diperjelas oleh Pendeta Simon, misionaris adalah faktor penting sebagai penghancur kekuatan persatuan umat Islam, (lihat Mabahits fits Tsaqofah Islamiyah, Dr. Nukman Samarrani, hal. 174).
Negara yang pertama kali mengembangkan kristenisasi adalah Belanda yang pernah menjajah Indonesia dan memecah Jawa menjadi kawasan-kawasan yang dibangun untuk gereja dan sekolahan. Kemudian langkah tersebut diikuti oleh negara Eropa lainnya, (lihat al-Isti'mar wat Tabsyiir, Dr. Umar Farukh dan Dr. M. Khalidi, hal. 37).
Memang, musuh-musuh Islam sangat memperhitungkan umat Islam, melihat pengikut yang demikian cepat bertambah banyak, sehingga apabila mereka menjadi satu di bawah kesatuan bendera untuk menuju cita-cita Islam akan menjadi momok bagi dunia. Maka, upaya pemecahannya terus dilakukan untuk menghindarkan titik temu tersebut, disamping memang ajaran Kitab suci Kristen mengharuskan penyebaran agama, (lihat Injil Matius, 28:29 dan Marcus, 16:15).
Strategi penyebaran ditujukan pada sasaran Non Cristian World (negara selain Kristena) dan Non Roman Catholic Word (negara selain Katolik Roma) termasuk warga Kristen yang bukan di bawah pengaruh Paulus, disebut juga Schismatics dan Heretucs. Dalam buku yang berjudul Out Line of Hostory of Protestan, G. Warneck, hal. 155 dijelaskan bahwa di dunia terdapat dua blok gereja Katolik, yaitu:
1. Terra Cathclica (bagian negara-negara Katolik).
2. Terra Missions (bagian negara-negara yang di bawah misionaris).
Selain itu, terdapat juga dua macam organisasi misionaris yang dinamakan Mission Aid Societies dan Mission Zending Societies, (lihat The Encyclopedia for School and Home, Oo 7, P. 234).
Pergoloakan pengaruh di dunia memang cukup terasa, sehingga menjadikan kalangan pemimpin menunjukkan kekhawatirannya, terutama pada pengaruh Islam. Sebagaimana pernyataan Sowrens Brown, "Banyak para pemimpin yang khawatir akan bahaya berbagai bangsa, tetapi kekhawatiran itu sebenarnya kurang beralasan."
"Mereka takut pada Yahudi, Jepang dan Komunis. Padahal, Yahudi sebenarnya adalah sahabat kita, komunis adalah sindikat kita danJepang masih ada negara-negara demokrat yang akan melawannya. Tapi, kami melihat bahaya sebenarnya itu terdapat pada Islam, (lihat Dammirul Islam Abiidu Ahlahu, Jalal Amin, hal. 37).
Jadi Islam dikerumuni oleh musuh dari segala arah. Dari dalam digerogoti oleh munafikin (kelompok hipokrat), fasikin (kelompok yang menamakan dirinya Islam tapi mereka meninggalkannya) dan mudhallibin (kelompok yang berafiliasi pada Islam tetapi merobek-robek dari dalam. Misalnya Ahmadiyah, Islam Jama'ah, tarekat, dan lainnya). Sedangkan dari luar, Islam terus dicurigai dan diserbu oleh kafirin (kelompok diluar Islam yang selalu memeranginya, seperti Komunis, Zionis dan lainnya). Tidak ketinggalan juga Kristen yang menjadikan Islam sebagai musuh dan medan. Itulah yang menjadikan Mr. Bills menerangkan bagaimana perkembangan kristenisasi di Afrika, dan hanya muslimlah (orang-orang Islam saja) musuh paling tengik, (lihat Al-Gharah alal Alam Islami, Muhibuddin al-Khatib, hal. 31-35).
Demikian itu merupakan tujuan di dunia luar. Sekarang marilah kita melihat lebih dekat lagi mengenai perkembangan kristenisasi di Indonesia. Dalam wawancara dengan majalah Al-Ummah tahun 1986, Dr. Fuad Fachruddin menyebutkan, "Menurut statistik Dewan Gereja Indonesia (DGI) di Indonesia terdapat 10.000 gereja protestan, 4.000 pendeta protestan, dan 9.000 misioner. Katolik mempunyai 8.000 gereja, 3.000 pendeta dan 6.000 misioner," (lihat majalah Al-Ummah terbitan Qatar, vol. 65, Januari 1986, hal. 45).
Sebagai bahan contoh, berdasarkan pada data Departemen Agama tahun 1997, jumlah pendeta Kristen di Propinsi Irian (Papua) sebanyak 9.564 orang, pendeta Katolik sebanyak 541 orang dan dai muslim sebanyak 2.489 orang. Sementara jumlah gereja Kristen mencapai 5.128 buah, gereja Katolik mencapai 1.280 dan masjid mencapai 1.169 buah.
Selanjutnya, kita ikuti penjelasan Prof. Dr. Rasyidi dalam konferensi yang telah diadakan pada tahun 1968 di Tokyo. Beliau mengemukakan realita yang dihadapi umat Islam di Indonesia, yang buruknya keadaan ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dimanfaatkan oleh pihak missionaris zending untuk mengkristenkan orang-orang Islam di Indonesia, dengan cara-cara berikut:
1. Gereja di bangun di tengah-tengah desa Islam dan daerah pertanian.
2. Misionaris membeli tanah di daerah strategis dengan harga tinggi (berlipat dua bahkan tiga) dengan tujuan membangun gereja.
3. Bila pemilik tidak rela menjualnya, maka seseorang dikirim untuk membeli atas nama pribadi, kemudian dijual kepada pihak misionaris.
4. Gereja membagikan beras, uang dan pakaian.
5. Gereja meminjamkna kepada orang yang membutuhkan dengan syarat mau menyekolahkan anaknya ke sekolah misionaris.
6. Para bekas anggota partai Komunis yang sedang mendekam di penjara didekati oleh misioner untuk mengajukan bantuan beras dan keuangan kepada famili mereka secara kontinyu, selama mereka mau menandatangani perjanjian bahwa mereka mau masuk Katolik.
7. Para pekerja perusahaan tekstil yang kehilangan pekerjaannya ditawari bantuan seperti beras dan uang.
8. Rumah-rumah besar milik orang kaya yang meninggal dunia dan ditinggalkan untuk ahli waris dibeli oleh misionaris.
9. Beberapa toko dan tempat tinggal dirubah menjadi gereja.
10. Klub, ruang baca, perpusatakaan, kolam renang dan lapangan olah raga dibangun untuk pemuda non Kristen.
11. Wanita-wanita Kristen berusaha merayu pemuda muslim.
12. Pemuda-pemuda Kristen berusaha merayu wanita muslim.
13. Pemuda-Pemuda Kristen membujuk pemuda-pemuda muslim agar mau menonton bioskop dan datang ke tempat-tempat rekreasi untuk memberi rangsangan, kemudian diajak menemani mereka ke gereja.
14. Guru-guru agama Islam yang kebetulan menerangkan al-Qur'an yang berhubungan dengan Yesus, ditangkap oleh pejabat Kristen atau diadukan kepada pemerintahan oleh pemuda-pemuda Kristen.
15. Rumah-rumah keluarga muslim, termasuk rumah saya (Rasyidi) didatangi misionaris yang mendesak agar mau mendengarkan keterangan kepercayaan Kristen, (diambil dari The One World Only).
Demikianlah sekilas tentang gambaran mengenai kristenisasi, baik di dunia luar maupun di Indonesia.
Solusi Menghadapi Kristenisasi
a. Menguatkan kesadaran berislam.
b. Meningkatkan ukhuwah Islamiyah.
c. Memberdayakan lembaga-lembaga Islam (ormas, pendidikan, pesantren, perguruan tinggi dan lainnya).
d. Mengintensifkan kajian dan pelatihan tentang bahaya kristenisasi dan cara penangkalannya bagi aktivis dakwah.
e. Mengirim para da'i yang sudah dibekali pengetahuan yang cukup tentang Islam dan tantangannya ke daerah-daerah terpencil terutama daerah basis kristenisasi.
f. Terus menerus memberi penyadaran kepada umat Islam akan bahaya kristenisasi lewat berbagai media baik elektronik, cetak, maupun pengajian dan majelis taklim.
g. Menyelenggarakan lembaga khusus untuk kaderisasi penangkalan.
h. Selalu mengadakan studi lapangan tentang kondisi umat dan perkembangan kristenisasi dengan membuka berbaga macam termasuk berkedok Islam.
i. Mengefektifkan para muhtaddin atau muaallaf sebagai counter attack kepada gerakan-gerakan kristenisasi dalam membuat jaringan bagi mereka bersama para kristolog muslim.
j. Mengungkap fakta dan data kristenisasi kepada semua pihak, terutama kepada para pejabat muslim dengan metode power point agar mereka terbelalak atas kerja mereka.
k. Mengantisipasi gerakan penyusunan kekuatan kristenisasi melalu laskar-laskar mereka seperti laskar kristenisasi, laskar mahoni dan lainnya.
l. Menggalang kekuatan ulama dalam menangkal kristenisasi termasuk kebangkitan internasional dunia Islam.
Wallahua'lam

(Artikel disampaikan oleh Ust. Farid Ahmad Okbah, MA pada acara Training Dua Hari Perbandingan Agama dan Perlawanan Strategi Kristenisasi di Islamic Center Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi pada tanggal 23-24 Januari 2008)

read more...

ADAM dan MUSA

Pengantar
Kisah ini hanya bisa diketahui melalui wahyu, karena ia berbicara tentang pertemuan yang tidak disaksikan oleh manusia. Pertemuan Adam dengan Musa. Pertemuan ini terwujud atas dasar permintaan dari Musa. Kita tidak tahu bagaimana hal ini terwujud, akan tetapi kita yakin bahwa ia terjadi karena berita Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pastilah benar.
Pertemuan seperti ini terjadi pada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam manakala beliau bertemu dengan para nabi dan rasul di malam isra' dan beliau shalat berjamaah dengan mereka sebagai imam di masjid Al-Aqsa. Pada saat mi'raj ke langit beliau berbincang dengan sebagian dari mereka.
Tujuan Musa dengan pertemuan itu adalah untuk berbincang-bincang langsung dengan Adam dan menyalahkannya karena Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari surga lantaran dosa yang dilakukannya. Akan tetapi pada saaat itu Adam mengemukakan alasan yang membuat Musa terdiam. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mengakui bahwa Adam telah mengalahkan argumen Musa Alahis Salam.
Teks Hadis
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Adam dan Musa berdebat di sisi Tuhan keduanya. Maka Adam mengalahkan argumen Musa. Musa berkata, 'Kamu adalah Adam yang diciptakan oleh Allah dengan Tangan-Nya. Dia meniupkan ruh-Nya kepadamu. Dia memerintahkan malaikat sujud kepadamu, dan Dia mengizinkanmu tinggal di surga-Nya. Kemudian gara-gara kesalahanmu, kamu menjadikan manusia diturunkan ke bumi.'
Adam menjawab, 'Kamu adalah Musa yang dipilih oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya. Dia memberimu lauh(kepingan kayu atau batu; pent) yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu. Dia telah mendekatkanmu kepada-Nya sewaktu kamu bermunajat kepada-Nya. Berapa lama kamu mendapatkan Allah telah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?' Musa menjawab, '40 tahun.'
Adam bertanya, 'Apakah di sana tertulis, 'Dan durhakalah Adam kepada Allah dan sesatlah dia.(Thaha: 121)?' Musa menjawab, 'Ya.' Adam berkata, 'Apakah kamu menyalahkanku hanya karena aku melakukan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah atasku 40 tahun sebelum Dia menciptakanku?'" Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Adam mengungguli argumen Musa."
Riwayat di atas adalah riwayat Muslim.
Dalam riwayat Bukhari, "Adam dan Musa saling beradu argumen. Musa berkata kepada Adam, 'Kamu Adam yang dikeluarkan dari surga karena kesalahanmu.' Adam menjawab, 'Kamu Musa yang telah dipilih oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya, kemudian kamu menyalahkanku hanya karena aku melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan."' Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Maka Adam mengalahkan dalil Musa." Ini diucapkan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sebanyak dua kali.
Dalam riwayat Bukhari juga, "Adam dan Musa saling berdebat. Musa berkata, 'Ya Adam, kamu sebagai bapak kami telah mengecewakan kami. Kamu membuat kami dikeluarkan dari surga.' Adam menjawab, 'Ya Musa, Allah telah mengangkatmu dengan Kalam-Nya dan Dia menuliskan untukmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu menyalahkanku hanya karena perkara yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum Dia menciptanku?' Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Maka Adam mengungguli Musa." Tiga kali.
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah dalam Kitab Ahadisil Anbiya', bab Wafat Musa, 6/440, no. 3407; dalam Kitab Tafsir, bab 'Dan Aku memilihmu untuk diri-Ku' (Thaha:41), 8/434, no. 4736; dalam Kitabul Qadar, bab dialog Adam dengan Musa, 11/505, no. 6614; di Kitabut Tauhid, bab keterangan tentang firman Allah, "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisaa: 164).
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Qadar bab debat antara Adam dan Musa, 4/2042, no. 2652.
Penjelasan Hadis
Kehidupan dunia adalah kelelahan dan kepayahan. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (Al-Balad: 4). Kelelahan ini telihat dalam segala urusan. Siapa yang dimakan oleh seseorang tidak diperoleh kecuali dengan kelelahan. Seteguk minum juga demikian. Bahkan pakaian dan tempat tinggal. Lebih dari semua itu, penyakit-penyakit yang menimpa manusia, musuh-musuh dan kawan-kawannya mendatangkan problem baginya. Gangguan pun bisa datang dari anak-anak darn kerabatnya.
Musa telah merasakan apa yang dirasakannya dari Fir'aun dan bala tentaranya. Dia kabur dari Mesir ke Madyan setelah membunuh laki-laki Qibti. Di Madyan, Musa menggembala kambing selama sepuluh tahun atau delapan tahun. Dan setelah Allah mengangkatnya menjadi Rasul, Musa menghadapi Fir'aun. Musa menghadapi kebengalan dan kenakalan Bani Israel. Mungkin pada suatu waktu terbetik di pikiran Musa bahwa penyebab kelelahan ini adalah Adam, yang telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari surga. Pada masa itu Allah telah meminta Adam agar tinggal di surga setelah menciptakannya. Allah mengizinkan buah-buahnya dan sungai-sungainya kecuali satu pohon. Allah menjamin kepada Adam tidak akan lapar dan telanjang, dia juga tidak akan haus dan tidak terkena sengatan matahari.
Manakala Adam durhaka kepada Tuhannya dengan memakan pohon terlarang, maka Allah menurunkannya dari rumah kekekalan ke rumah kelelahan, dan manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan perjuangan yang berat.
Oleh karena itu, ketika Musa bertemu dengan bapaknya, Adam dia mencelanya atas perbuatannya yang membuat dirinya dan anak cucunya keluar dari surga. Dalam perbincangan tersebut Musa mengingatkan Adam akan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepadanya, di mana Allah menciptakannya dengan Tangan-Nya, sementara makhluk yang lain diciptkan dengan kata "Kun." Allah meniupkan ruh-Nya padanya, menyuruh para malaikat bersujud kepadanya, mengizinkannya tinggal di surga; dan barang siapa diberi kemuliaan itu oleh Allah, maka tidak sepantasnya ia tidak mendurhakai-Nya sehingga tidak menurunkan dirinya dan anak cucunya dari surga.
Adam merespon celaan Musa dengan celaan juga. Adam membantah ucapan Musa. Dia mengingkari Musa, bagaimana sikap menyalahkan ini bisa keluar dari orang seperti Musa, Adam menyebutkan keutamaan Musa yang diberikan Allah kepadanya. Adam berkata kepada Musa, "Kamu Musa yang telah diangkat oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya. Dia memberi lauh yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu. Dia mendekatkanmu kepada-Nya ketika kamu bermunajat. Berapa lama kamu mendapati Allah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?" Musa menjawab, "Empat puluh tahun."
Adam bertanya, "Apakah kamu mendapati, 'Dan Adam durhaka kepada Tuhannya, maka dia sesat.' (Thaha: 121). "Musa menjawab, 'Ya.'
Adam berkata, "Apakah kamu menyalahkanku karena satu perbautan yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?"
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah menyatakan bahwa Adam mengungguli ucapan Musa. Mungkin ada yang bertanya, "Bagaimana bisa itu?" Bagaimana Adam unggul dalam argumennya?"
Jawabannya adalah bahwa Musa menyalahkan Adam karena Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari surga. Maka Adam menjawabnya, "Saya tidak mengeluarkan kalian dari surga, akan tetapi Allahlah yang menjadikan keluarnya diriku karena aku memakan pohon." Maka pengeluarkan Adam bukan sesuatu yang lazim jika ia tidak diinginkah oleh Allah Tabaraka Wa Taala, karena mungkin saja Allah mengampuninya tanpa mengeluarkannya dari surga dan mungkin juga Allah menghukum Adam dengan hukuman lain, bukan dengan mengeluarkannya dari surga, akan tetapi hikmah-Nya menuntut mengeluarkan Adam dari surga karena kebaikan yang banyak dan besar yagn diketahui oleh-Nya. Oleh karena itu, Adam mencela Musa atas celaannya kepadanya karena satu perkara yang telah dikehendaki dan ditakdirkan oleh Allah dan hal itu itu sendiri bukan sesuatu yang lazim dari perbautan Adam.
Hadis ini membantah para pendusta takdir, karena hadis ini menetapkan takdir terdahulu dan dalil-dalil yang menetapkan takdir adalah dalil-dalil yang ketetapannya pasti dan dalalahnya juga pasti, maka tidak ada peluang untuk mendustakan dan mengingkari takdir. Barang siapa mendustakannya maka dia tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya.
Hadis ini dicatut oleh kelompok jabbaraiyah di mana –kata mereka- hamba adalah orang yang terpaksa dalam perbautan-nya. Padahal, hadis ini tidak menunjukkan itu. Adam tidak membantah Musa dengan cara ini. Dan masalahnya adalah seperti yang telah aku jelaskan dan aku tetapkan. Wallahu A'lam.
Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis
1. Dialog antara orang-orang yang shalih dalam masalah yang musykil, seperti Ada yang berdialog dengan Musa. Dan diwajibkan atas peserta dialog untuk tunduk kepada kebenaran jika ia telah jelas setelah sebelumnya samar, seperti Musa yang tunduk pada hujjah Adam.
2. Kewajiban beriman kepada ghaib yang benar. Allah telah memuji orang-orang mukmin bahwa mereka beriman kepada yang ghaib. Di antara perkara ghaib yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam adalah percakapan yang terjadi antara Adam dan Musa. Adapun perkara ghaib yang diklaim oleh sebagian orang tanpa berpijak kepada dalil yan benar, maka hal itu termasuk berkata atas nama Allah tanpa ilmu.
3. Pelaku dialog hendaknya mengenal kelebihan lawan dialog. Adam dan Musa masing-masing menyebutkan keunggulan lawannya dan kelebihan yang diberikan oleh Allah kepadanya.
4. Hadis ini menetapkan takdir yang mendahului. Banyak sekali dalil-dalil dalam hal ini. Hadis ini membantah qadariyah yang menafikan takdir yang mendahului, termasuk kelompok mu'tazilah.
5. Keterangan tentang keutamaan khusus yang dimiliki oleh Adam. Allah menciptakannya dengan tangan-Nya, memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya, mengizinkannya tinggal di surga-Nya. Sementara keistimewaan Musa bahwa Allah mengangkatnya dengan risalah dan kalam-Nya. Dia memberinya lauh yang mengandung penjelasan tentang segala sesuatu, dan Dia mendekatkannya ketika dia bermunajat kepada-Nya. Keistimewaan-keistimewaan ini dimiliki oleh keduanya. Sebagian telah disebutkan secara nyata di dalam Al-Qur'an dan sebagian lain ditunjukkan oleh hadist-hadis lain seperti hadis ini.
6. Penetapan sifat Tangan bagi Allah. Sifat ini tidak boleh dinafikan dan tidak boleh didustakan, sebagaimana tidak boleh menyamakan Tangan Allah dengan tangan para makhluk, berpijak pada firman Allah, "Tidak sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura:11).
7. Keterangan tentang sebagian ilmu di dalam Taurat yang diturunkan oleh Allah kepada Musa. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyatakan bahwa dalam Taurat terdapat, "Dan Adam durhaka kepada Tuhannya, maka dia pun sesat." Ayat ini terdapat di Al-Qur'an sebagaimana di dalam Taurat yang Allah turunkan. Tetapi dalam Taurat sekarang, hal itu sudah tidak ada.
8. Hadis ini mengandung hakekat ilmiah yang ghaib, bahwa Allah menulis Taurat empat puluh tahun sebelum diciptakan.
9. Hadis ini menetapkan bahwa Allah menulis Taurat dengan Tangan-Nya. Ini termasuk keistimewan taurat sebagai keutamaan Musa.
Sumber: diadaptasi dari DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Shahih Qashashin Nabawi, atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa, terj. Izzudin Karimi, Lc. (Pustaka Yassir, 2008), hlm. 91-97

read more...

Monday, December 14, 2009

Pentingnya Menyatukan Barisan

OLEH : Syaikh Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy

Semua orang yang berakal pasti sepakat bahwa persatuan itu sangat penting dan dibutuhkan oleh umat yang menginginkan kemenengan. Sungguh, syari’at telah memperhatikan hal itu dan bagaimana menjaganya.
Pada akhir-akhir ini, berbagai perselisihan silih berganti. Perselisihan memang sudah kepastian yang akan terjadi pada umat. Tapi, perselisihan yang terjadi sekarang ini sudah melampaui batas sehingga perlu adanya wasiat dan pencerahan terhadap makna persatuan.
Di antara dalil-dalil yang menjelaskan akan pentingnya menyatukan barisan adalah sebagai berikut.
1. Nash-Nash dari Al-Qur’an
Sungguh Al-Qur’an telah menjaga persatuan umat. Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya Allah Azzawajalla berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali-Imran: 102-103).

“Jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 118-119).
Maksud dari firman Allah Ta’ala “Untuk Itulah Allah menciptakan mereka” adalah sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Jarir, orang yang mendapatkan rahmat Allah tidak akan berselisih pada perselisihan yang membahayakan (tafsir Ibnu Jarir, 12/34).
Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang dirahmati Allah (tidak akan berselisih), dan kelompok yang tidak dirahmati Allah (akan berselisih). Sehingga, ada di antara mereka yang celaka dan bahagia. (Tafsir Ibnu Jarir, 12/34).
2. Menyatukan Barisan adalah Salah Satu Tujuan Allah Mengutus Para Nabi-Nya
Para nabi a.a. adalah utusan Allah yang menyerukan untuk menyatukan barisan dengan satu kalimat. Imam Baghawi mengatakan, “Allah telah mengutus para nabi untuk menegakkan agama, menyatukan umat, dan meninggalkan perpecahan serta perselisihan.” (Ma’alim At-Tanzil, Ibnu Jarir Ath-Thabari, hal. 4/122).
Sebelumnya, para nabi pun pernah berselisih pendapat, di antaranya Musa a.s. menyelisihi Harun a.s. Dalam firman Allah dijelaskan: “Berkata Musa: ‘Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka Telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka apakah kamu Telah (sengaja) mendurhakai perintahku?’ Harun menjawab: ‘Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): ‘Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.”
Begitu juga perselisihan yang terjadi antara Hidlir a.s. dan Musa a.s., dan antara Sulaiman a.s. dan Daud a.s. Allah berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah kami berikan hikmah dan ilmu dan telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud, dan kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 78-79).
Bahkan, malaikat pembawa rahmat dan malaikat penyiksa pun pernah berselisih pada seorang lelaki yang mati dan telah membunuh seratus orang. (Lihat Itsarul Haqqi ‘Alal Khalqi, Ibnul Wazir, hal. 119).
Hanya saja, perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak menyebabkan kepada perpecahan dan permusuhan.
3. Nash-Nash dari As-Sunnah
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menyatukan barisan dan melarang dari perpecahan dan perselisihan.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha terhadap kalian pada tiga hal, dan membenci kalian pada tiga hal. Yaitu, engkau menyembah-Nya dan tidak menyekutukannya, engkau berpegang teguh pada tali Allah dan jangan kalian berpecah-belah. Dan membenci ucapan katanya, banyak ucapan, dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim [1715]).
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat untuk melaksanakannya dan memerintahkan Bani Isra’il supaya mereka mengerjakannya.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Saya perintahkan kepada kalian dengan lima hal yang Allah memerintahkanku dengannya, yaitu untuk mendengar, taat, jihad, hijrah, dan berjama’ah. Karena orang yang menyelisihi jama’ah sejengkal saja, maka dia telah melepas tali Islam dari punggungnya, kecuali bila ia kembai.” (HR Ahmad [16178] dan Tirmidzi [2863]).
Berkata Ibnu Umar r.a., Umar telah berkhutbah seraya berkata, “Wahai manusia, saya beridiri di depan kalian adalah mewakili Rasulullah saw., beliau bersabda: ‘Saya wasiatkan kalian dengan para sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka. Sungguh, setelah mereka akan muncul berbagai kedustaan, hingga ada seorang lelaki yang berjanji tapi tidak menepati janjinya. Ada orang yang menjadi saksi tapi kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai saksi. Dan, tidaklah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah syaitan. Hendaknya kalian berjama’ah dan jangan berpecah-belah. Karena syaitan bersama orang yang sendirian, dan syaitan lebih jauh dari orang yang berdua. Barang siapa yang menginginkan baunya surga, maka hendaklah ia melazimi jama’ah’.” (HR Tirmidzi [2165] dan Ahmad [115]).
4. Sejarah Para Sahabat Nabi
Perbedaan pendapat sering kali terjadi di kalangan para sahabat, tapi hati dan jiwa mereka tetap bersih.
Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar pernah mengutip penjelasan Al-Qurtubi, orang yang memperhatikan dan mengkaji perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar r.a. dan Ali r.a. dengan adil, maka dia akan mengetahui bahwa mereka saling mengakui keutamaannya masing-masing, dan hati mereka tetap terbangun untuk saling menghormati dan mencintai.
Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya berkata, saya pernah mencela Hasan r.a. di depan ‘Aisyah r.a., maka dia berkata, “Jangan kamu mencelanya, karena dia telah mendapatkan bau harum dari Rasulullah saw.” (HR Bukhari [6150]).
Begitu juga dengan Ibnu Abbas r.a., ia pernah memuji Ibnu Zubeir di tengah perselisihan yang terjadi di antara mereka berdua. Ibnu Mulaikah berkata, “Di antara mereka berdua pernah terjadi perselisihan sehingga saya mendatangi Ibnu Abbas dan berkata, ‘Apakah engkau ingin membunuh Ibnu Zubeir dengan melanggar aturan Allah?’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Saya berlindung kepada Allah, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi Ibnu Zubeir dan Bani Umayah untuk berselisih. Dan saya, demi Allah, tidak akan ikut campur.’ Ada orang yang berkata kepadanya, ‘Orang-orang telah membai’at Ibnu Zubeir.’ Lalu beliau berkata, ‘Apakah perkara itu salah? Bukankah ayahnya adalah seorang hawari (pendamping Nabi saw., yang dimaksud adalah Zubeir), sedangkan kakeknya adalah sahabat Rasulullah saw. ketika di Gua Hira? Abu Bakar, ibunya adalah Asma’, bibinya adalah umul mukminin ‘Aisyah; bibinya juga adalah istri Nabi saw., Khadijah; neneknya adalah bibi Nabi saw., Shafiyah; Abdullah bin Zubeir adalah seorang yang baik dalam keislamannya dan pembaca Al-Qur’an’.”
Begitu juga dengan Ibnu Mas’ud r.a., ia sering sekali menyelisihi pendapat Umar bin Khatab r.a. Meski demikian, sungguh hati mereka selalu bersih, tidak ada tempat bagi hawanafsu di hatinya. Perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak mengurangi sedikit pun keadilan mereka, dan tidak mengarah kepada permusuhan.
5. Jama’ah
Di antara nama lain Ahlus Sunnah adalah jama’ah. Mereka sangat bersungguh-sungguh menyerukan kepada persatuan. Bagaimana tidak, mereka adalah jama’ah dan kelompok sawadul a’zham (kelompok mayoritas).
At-Thahawi rhm. mengatakan, “Kami berpendapat bahwa jama’ah adalah kebenaran, sedangkan perpecahan adalah kesesatan dan azab.”
Imam Nawawi mengomentari hadits berikut, “Dan janganlah kalian berpecah belah,” hadits tersebut merupakan perintah untuk melazimi jama’ah kaum muslimin dan saling lemah lembut antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan salah satu kaedah dalam Islam. (Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Imam an-Nawawi, hal. 11/12).
Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Kebaikan adalah semua kebaikan yang mengikuti salafus shaleh (orang-orang terdahulu), memperbanyak pengetahuan terhadap hadits Rasulullah saw., mendalaminya, berpegang teguh dengan tali Allah, melazimi jama’ah, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat menyebabkan kepada perselisihan dan perpecahan. Kecuali, bila perkara tersebut jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan, bila perkara tersebut masih samar, apakah perkataan dan perbuatan ini dapat menyebabkan pelakunya kepada perselisihan atau perpecahan, maka wajib untuk meninggalkannya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/505).
6. Maslahat Jama’ah Tidak Sebanding dengan Mafsadat (Kerusakan) dari Perpecahan
Banyak sekali orang yang ingin mencapai suatu maslahat (manfaat) tetapi dengan melaksanakan mafsadah yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Padahal, kemanfaatan dalam berjama’ah itu sama sekali tidak sebanding dengan kerusakan yang menyebabkan kepada perpecahan dan perselisihan.
An-Nu’man bin Basyir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Membicarakan nikmat Allah adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur (ingkar). Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka dia pun tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak. Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah. Dan, jama’ah adalah barakah sedangkan perpecahan adalah adzab.” (HR Al-Baihaqi dan dihasankan oleh Al-Bani dalam Shahihil Jami’ [3014]).
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Wahai manusia, hendaklah kalian taat dan berjama’ah, karena ia adalah jalan yang paling pokok untuk menuju kepada tali Allah yang telah diperintahkan. Dan, sungguh tidak sukanya kalian ketika berada di suatu jama’ah itu lebih baik daripada kalian bersenang-senang dalam perpecahan.” (HR Al-Lalika’i dalam kitab Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah, hal. 158-159 dan Asy-Syari’ah, Al-Ajrawi, hal. 13).
Dalam mengomentari hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Apalagi bila perkara tersebut menimbulkan kejahatan yang begitu panjang dan perpecahan Ahlus Sunnah, maka kerusakan yang timbul pada perpecahan ini berlipat ganda dari kesalahan kecil seseorang dalam masalah furu’ (cabang).”
7. Kebangkitan Islam Membutuhkan Penyatuan Barisan
Kalaulah perkara jama’ah dan penyatuan barisan merupakan perkara yang sangat penting, maka tentunya hal itu sekarang lebih dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perpecahan yang terjadi pada umat Islam, para ulama, dan para syaikhnya, serta para pemimpin dan pembesarnya sangat disukai oleh musuh-musuh Islam. Dan, hal itu bisa terjadi lantaran mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Dan di antara orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani,’ ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat, dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” (Al-Maidah: 14).
Tatkala orang meninggalkan apa-apa yang telah Allah perintahkan kepada mereka, pasti akan terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bila suatu kaum sudah berpecah-belah, pasti mereka akan rusak dan hancur; bila berjama’ah, mereka akan mendapatkan kebaikan. Karena, jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab (siksa).” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 3/421).
Sarana Penyatuan Barisan
Di antara sarana untuk menyatukan barisan adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pentingnya penyatuan barisan.
Kaum muslimin harus meyakini pentingnya penyatuan barisan dan menyebarluaskan hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu hingga benar-benar mengetahui dan yakin akan hal tersebut.
2. Menguatkan tali hubungan.
Di antara sarana yang dapat membantu terwujudnya penyatuan barisan adalah dengan menguatkan hubungan antara para aktivis dan da’i serta kaum muslimin secara umum. Hal ini bisa dilakukan di sela-sela hubungan pribadi, silaturrahmi, berkumpul, menegakkan syari’at bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan ataupun yang lainnya.
Hubungan saudara sesama muslim yang disertai dengan rasa cinta akan membuka pintu dialog ketika terjadi perselisihan. Kecintaan tersebut akan menjembatani perselisihan yang terjadi di antara mereka. Berbeda halnya bila mereka tidak pernah berhubungan. Kemungkinan besar akan sulit untuk disatukan.
3. Menimbang perkataan yang benar.
Tidaklah seorang muslim merasa keberatan untuk menyatukan barisan, kecuali di hatinya ada nifaq dan tidak suka untuk menolong agama Allah. Tidaklah seseorang cukup berhujah dengan kebenaran, tapi dia juga harus memperhatikan beberapa hal berikut.
1. Hendaknya kebenarannya benar-benar jelas dan nyata.
Banyak masalah yang menghalangi tercapainya kesatuan barisan. Contohnya permasalahan-permasalahan ijtihad yang cakupannya sangat luas. Dalam hal ini tidak mungkin bisa disatukan, sehingga tidak seyogyanya satu sama lain saling mengingkarinya, terlebih saling bermusuhan. Atau, dalam hal pelaksanaan jihad, sungguh dalam perkara ini sangat luas sekali pembahasannya. Sehingga, seyogyanya seorang muslim tidak cepat menghukumi orang lain yang belum bisa berjihad sebelum melakukan pembahasan yang mendalam mengenai hal ini.
2. Hendaknya kebenaran tersebut disertai dengan penjelasan dan ilmu.
Imam Bukhari dalam kitab Jami’ush Shahih mengutip perkataan Imam Ali r.a., “Ceritakanlah kepada manusia dengan apa yang bisa mereka mengerti, apakah engkau senang bila dia mendusatakan Allah dan Rasul-Nya?” (HR Bukhari, Kitabu al-Ilmi, no. 124).
‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Tidaklah engkau megatakan suatu perkataan kepada suatu kaum yang tidak bisa dicapai oleh akal mereka, kecuali akan menimbulkan fitnah pada sebagian mereka.” (HR Muslim dalam muqaddimah shahihnya).
3. Hendaknya menjelaskan kebenaran dengan metode yang sesuai.
Seorang muslim seyogyanya berbuat adil dan menjauhi kezhaliman. Selain itu, ia juga harus paham bahwa tanggung jawabnya dalam menyampaikan kebenaran adalah untuk menyatukan barisan kaum muslimin.
4. Hendaknya dalam menjelaskan kebenaran dilakukan oleh orang yang pantas.
Hendaknya seseorang berdakhwah sesuai dengan kedudukannya masing-masing, seperti seorang pejabat berdakwah di kalangan para pejabat dan lainnya. Sekalipun, hal ini tidak mutlak.
5. Setelah sempurnanya penjelasan kebenaran, hendaknya tidak terburu-buru menjelaskan hal yang dapat menimbulkan perselisihan.
Permasalahan yang bertele-tele dan tidak ada gunanya hanya akan membawa kepada perselisihan dan perpecahan umat.
4. Adil dalam menghukumi kesalahan.
Seorang muslim tidak mungkin terlepas dari kesalahan, kecuali Nabi Muhammad saw., sekalipun orang tersebut bertakwa, berilmu, dan wara’.
Sebagaimana telah diketahui, kesalahan merupakan perkara yang bertingkat-tingkat. Seperti halnya dosa, ada dosa-dosa besar dan ada dosa-dosa kecil. Salah dalam perkara yang sudah nyata kebenarannya tidak sama dengan kesalahan pada perkara yang masih samar. Menyelisihi dalil yang sudah jelas-jelas shahih tidak sama dengan menyelisihi dalil yang masih muhtamal (yang masih ada kemungkinan shahih, hasan, atau dhaif) atau fatwa para ulama.
Tatkala telah jelas penjelasan akan kesalahan seorang ulama atau da’I, hendaknya ia adil dalam hal itu dengan menjauhi kesalahan tersebut, menjauhi sifat berlebih-lebihan dalam semua hal, dan menjauhi perselisihan dan perpecahan.
5. Setiap orang mempunyai kelebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Ini adalah inti pembahasan pada bab ini. Seorang mujtahid yang berpegang pada dalil yang dilakukan oleh seorang imam, penguasa, ulama, pengamat, mufti, dan selainnya, apabila telah berijtihad dan berlandaskan kepada dalil, maka bertakwalah kepada Allah semampunya. Karena, inilah yang dibebankan Allah kepadanya. Orang yang menaati Allah, maka baginya pahala, maka bertakwalah semampunya dan Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Berbeda halnya dengan orang-orang yang berpaham Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Qadariyah.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah: 19/216-217).
Beliau juga berkata, “Adapun para Nabi–semoga Allah meridhai mereka semua—mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, yaitu ma’shum dari dosa. Adapun, orang-orang yang jujur, para syuhada`, dan orang-orang shalih, mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum. Orang yang berijtihad terkadang mendapatkan pahala dan tekadang salah. Apabila mereka berijtihad dan benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala; sedangkan mereka yang berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala atas kesungguhan ijtihadnya, dan kesalahan mereka diampuni. Adapun orang-orang sesat, mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai hal biasa. Bahkan, terkadang mereka berbuat melampaui batas. Mereka mengklaim diri mereka ma’shum. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa orang beriman dan berilmu tidak ma’shum tapi juga tidak berdosa.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal: 35/69).
6. Saling menghormati.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, manusia tidak ada yang ma’shum, kecuali Nabi saw. Akan tetapi, kebanyakan para aktivis tidak menyadari hal ini. Tatkala ada seorang ulama yang berbuat salah, mereka langsung mengkritik dan menjatuhkannya tanpa memperhatikan aturan-aturannya.
Hendaknya para ulama dan aktivis saling bermuamalah dengan baik, saling menghormati, baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih kecil.
7. Hendaknya tidak disibukkan mencari-cari kesalahan manusia.
Seorang muslim diperintahkan untuk menjaga lisannya dan menjaga kehormatan kaum mukminin. Lalu, bagaimana dengan orang yang hanya disibukkan mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim? Maka, hendaknya orang yang sering disibukkan mencari-cari kesalahan orang lain mengintrospeksi diri, boleh jadi hal itu hanya dilatarbelakangi oleh hawa nafsu.
8. Menghormati orang yang lebih tua.
Syariat telah memerintahkan kita untuk bertawadhu’ (rendah hati). Kesalahan mereka tidaklah sama dengan kesalahan selain mereka. Oleh sebab itu, hendaknya selalu dijaga kedudukan mereka. Bila ada kesalahan, perkara mereka berbeda dengan selain mereka.
Sa’id bin al-Musayyib rhm. berkata, “Tidak ada orang terhormat, berilmu, dan orang yang mempunyai keutamaan, kecuali ia pasti mempunyai aib. Akan tetapi, hendaknya orang lain tidak perlu menyebut-nyebut aibnya. Karena, bagi siapa yang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya akan ditutupi dengan keutamaannya.” (Al-Kifayah, hal. 102 dan Jamiu Bayani al-Ilmi wa Fadlihi, hal. 2/821).
Imam Ibnul Qayim rhm. berkata, “Barang siapa yang memiliki ilmu syar’i dan dia mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam, terkenal dengan keshalihan dan akhlak baiknya, apabila ia berijthiad dan salah—karna ia tidak terlepas dari kesalahan—maka dia tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya, dan orang lain tidak boleh mengikuti ijtihadnya yang salah, dan tidak boleh kita menjatuhkan nama baiknya di depan kaum muslimin.” (I’lamu al-Muwaqi’in, Ibnul Qayim, hal. 3/282).
9. Menjauhi perselisihan.
Perselisihan biasanya berawal dari kesalahan, peremehan, hawa nafsu, dan sifat berlebih-lebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dijaga, di antaranya orang yang diam sama sekali pada permasalahan ini—apakah orang kafir melihat Tuhan mereka—… Oleh sebab itu, tidak sepantasnya bagi orang berilmu menjadikan permasalahan ini sebagai tameng untuk mengutamakan saudara-saudaranya yang ia sukai dan memojokkan kaum muslimin lainnya yang tidak ia sukai. Karena, yang seperti inilah yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, hendaknya jangan membawa permasalahan ini kepada kaum muslimin yang masih awam, dikhawatirkan akan muncul fitnah di antara mereka. Kecuali, kalau ada seseorang yang bertanya, maka jawablah sesuai dengan kadar ilmu yang kamu miliki.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/503-504).
Beliau juga berkata, “Adapun perselisihan dalam masalah hukum, maka hal itu banyak terjadi di kalangan para sahabat. Sebagaimana sahabat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., keduanya adalah sayyid-nya kaum muslimin. Keduanya berselisih, tetapi keduanya tidak ada maksud apa pun kecuali kebaikan. Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya, ‘Jangan salah seorang di antara kalian shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Akhirnya ketika mereka berada di tengah-tengah perjalanan, waktu shalat ashar pun tiba. Sekelompok dari mereka berkata, ‘Kita tidak akan shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Sekelompok yang lain berkata, ‘Kami tidak ingin mengakhirkan shalat.’ Sehingga mereka pun shalat ketika berada di perjalanan, dan tidak ada seorang dari dua kelompok tersebut yang saling mencela.” (HR Bukhari dan Muslim), (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/173).
10. Membedakan antara perbedaan pendapat dengan perbedaan hati.
Tidak mengapa terjadinya perbedaan pendapat dan ijtihad. Tetapi, kaum muslimin harus mewaspadai bila terjadi perbedaan hati. Nabi saw. telah mengingatkan para sahabatnya dari hal itu. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, saya telah mendengar seseorang yang membaca sebuah ayat, dan bacaannya berbeda terhadap apa yang telah saya dengar dari bacaan Nabi. Lalu saya datang kepada beliau dan menceritakan kejadian tersebut. Dari wajah beliau terpancar seolah-olah beliau tidak suka dengan kejadian tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua adalah baik, tapi jangan kalian berselisih karena orang-orang terdahulu hancur akibat mereka berselisih.” (HR Bukhari, no. 3217).
11. Perselisihan itu pasti terjadi.
Perselisihan itu pasti terjadi dan sulit untuk dihindarkan. Tetapi, apabila ingin menyatukan barisan, perbedaan pendapat harus diminimilasasi dan berusaha untuk menyatukannya. Kecuali, pada hal-hal yang Islam memang memberi kelonggoran di dalamnya untuk berselisih seperti halnya dalam masalah furu’.
12. Membuka forum dialog disertai dengan akhlak yang baik.
Di antara cara meminimilasasi terjadinya perbedaan pendapat adalah dengan membuka berbagai forum dialog, karena dengannya akan didapati titik temunya. Bila kita amati, membuka forum dialog pun telah diajarkan oleh para salaf. Mereka berselisih dan berbeda pendapat, tetapi kemudian mereka membuka forum dialog dengan cara yang baik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Para ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka pernah berselisih dalam suatu perkara, tetapi mereka tetap mengikuti perintah Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59). Mereka saling tukar pikiran dalam suatu masalah, bermusyawarah, dan saling menasihati. Terkadang mereka berselisih dalam masalah ilmu ataupun perbuatan, tetapi mereka tetap menjaga hubungan persaudaraan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/172).
13. Berusaha untuk mendamaikan antara dua orang yang berselisih.
Di antara unsur yang tak kalah pentingnya dalam menyatukan barisan umat ini adalah mengadakan perdamaian. Sebelum terjadinya permusuhan di antara sesama kaum muslimin, maka harus didamaikan. Allah telah berfirman: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Al-Hujarat: 9).
Nabi saw. juga mengkuatkan pentingnya peranan ini. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bin As-Saaidy r.a., telah sampai kabar kepada Rasulullah bahwa Bani Auf bin Amru berselisih, maka kemudian Rasulullah saw. keluar mendamaikannya. (HR Bukhari [1224] dan Muslim [421]).
Sumber: (Majalah Islamiyah Syahriyah Al-Bayan, [Juli, 2002], hal. 30-36)
read more...

Sunday, December 13, 2009

Kewajiban Berdakwah Seorang Muslim

Dr. Ibrahim Syeta Tsani

Dakwah secara terminologi adalah menyeru untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya, baik kebenaran ataupun kebatilan. Ahmad bin Faris mengatakan, "Dakwah adalah menyerukan sesuatu dengan suara dan perkataan dari kamu."(Al-Mu'jamu Al-Wasith, Ahmad Faris, hlm. 286).
Secara etimologi, para ulama mendefinisikan dengan berbagai pengertian. Tapi, kami akan meringkas menjadi dua definisi yang lebih lengkap dan sesuai dengan tema ini.
1. Dakwah yaitu menyampaikan Islam kepada manusia, mengajarkannya kepada mereka, dan mengaplikasikannya dalam realita kehidupan.
2. Dakwah yaitu penyampaian dakwah Islam kepada manusia di semua tempat dan waktu dengan menggunakan berbagai metode dan sarana yang sesuai dengan kondisi objek dakwah.
Dari pengertian itu, maka seroang aktivis adalah penyampai dakwah ini. Ia sebagai pahlawan yang akan mengentaskan umat Islam dari kesesatan kepada petunjuk. Yel-yel dakwah mereka adalah firman Allah Ta'ala (yang artinya), "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh, dan berkata, 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri'." (Fushilat: 33).
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, "Sungguh, bila Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui perantara kamu maka itu lebih baik bagi kamu dari pada unta merah." (HR Bukhari no. 3498, Muslim no. 2406, dan Ahmad no. 22872).
Hukum Berdakwah
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rhm. mengatakan, "Dakwah adalah wajib hukumnya bagi siapa yang mengikuti Rasulullah saw. dan mereka adalah bagian dari umatnya. Kewajiban ini berlaku bagi setiap kelompok, yaitu fardhu kifayah, kewajiban yang gugur pada sebagian kelompok bila telah ada sebagian yang lain melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, 'Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan' (Ali-Imran: 104)." (Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, hlm. 8/20).
Syaikh Bin Baz rhm. menjelaskan, "Para ulama telah menjelaskan bahwa hukum berdakwah adalah fardhu kifayah sesuai dengan wilayah tempat aktivis tersebut berdakwah. Karena, setiap wilayah dan negara pasti membutuhkan dakwah. Oleh karena itu, disebut dengan fardhu kifayah, yaitu bila telah ada yang melaksanakannya dan cukup, maka gugur kewajiban berdakwah bagi lainnya. Sehingga, berdakwah bagi lainnya menjadi sunnah mu'akkaddah (sunnah yang ditekankan) dan menjadi amal shaleh bagi mereka. Tapi, ketika jumlah aktivisnya sedikit, kemungkaran merajalela, dan banyak kebodohan-seperti kondisi kita hari ini-, maka hukum berdakwah menjadi fardhu 'ain yang dibebankan kepada setiap individu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Bila penduduk negara atau wilayah tertentu tidak ada yang melaksanakan dakwah ini, maka mereka semua berdosa dan kewajibannya meluas. Maka, hendaknya setiap orang berdakwah sesuai dengan kemampuan dan tempatnya masing-masing. Adapun bila ditinjau dari keumuman negara-negara yang ada, maka wajib akan adanya sekelompok orang yang berdakwah menyampaikan risalah Allah dan menjelaskan perintah-perintah-Nya dengan menggunakan berbagai cara yang memungkinkan." (Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du'at, Syaikh bin Baz, hlm: 20-21).
Kewajiban Bagi Para Aktivis
Berangkat dari definisi dakwah, maka kewajiban yang paling mendasar bagi para aktivis adalah menyampaikan agama Islam kepada manusia dan menunjukkan mereka ke jalan yang telah ditapaki oleh para nabi dan rasul. Yaitu, menetapkan akan keberadaan Allah Ta'ala dan mengesakan-Nya dalam peribadatan. Allah Ta'ala berfirman, "Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu'." (An-Nahl: 36). Dan, firman Allah Ta'ala, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'." (Al-Anbiya': 25).
Inti dari kewajiban ini adalah memerintahkan kepada kebaikan dan dan mencegah dari kemungkaran. Ia adalah risalah yang sangat agung dan kewajiban yang sangat tinggi kemuliaannya, karena ia adalah hubungan dengan para makhluk yang berada di bumi ini, mereka adalah para nabi dan rasul, sejak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad saw.
Fungsi adanya para aktivis (da'i) yang paling utama adalah menyampaikan dan menyeru manusia kepada petunjuk Allah. Ini adalah kewajiban yang sangat agung yang harus disertai dengan kesadaran dan berfariasinya metode dalam berdakwah. Nabi Muhammad saw. telah menjelaskan mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban ini. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudry r.a., ia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: 'Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, bila tidak bisa maka dengan lisannya, bila tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman'." (HR Muslim no. 449 dan Ibnu Majah no. 4013).
Bila diamati secara mendalam, hadits ini menjelaskan tahapan-tahapan melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar sebagai berikut.
1. Mengenali kemungkaran dan bentuk-bentuknya.
2. Memperkenalkan kemungkaran dengan cara menjelaskan kepada manusia mengenai hakikat kemungkaran supaya mereka berhati-hati.
3. Saling menasihati.
4. Memperingatkan dengan tegas untuk meniggalkan kemungkaran.
5. Menghilangkan kemungkaran dengan tangan bagi seorang penguasa. Menghilangkan kemungkaran dengan tangannya bisa dengan cara menghukum pelakunya.
Seorang aktivis harus benar-benar memperhatikan tahapan-tahapan ini, mulai dari yang mudah sampai kepada menjauhi kemungkaran. Yang mudah contohnya adalah memberi kabar gembira bagi orang yang berbuat kebaikan, dan sebaliknya. Nabi saw. telah memilih Mu'adz dan Abu Musa untuk menyampaikan dakwah dan menyebarkannya di Yaman. Beliau berwasiat kepada keduanya dengan nasihat yang sangat mulia. Beliau bersabda, "Mudahkanlah dan jangan kamu persulit, dan berilah kabar gembira dan jangan kamu membuat mereka lari." (HR Bukhari no. 19757).
Kewajiban Para Aktivis (Da'i)
Ada tiga kewajiban yang sangat mendasar bagi seorang aktivis, yaitu sebagai berikut.
1. Memahami tabi'at dakwah dan ruang lingkupnya. Karena, terkadang ada beberapa da'i yang mengira bahwa dakwah kepada tauhid adalah hanya memperbaiki tashawwur (pemahaman) manusia dalam memahami tauhid rububiyah, pengertian uluhiyah dan manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah. Mereka menganggap hal itu sudah cukup tanpa menjelaskan secara lengkap mengenai kemuliaan akidah ini untuk realita kehidupan manusia dan kepribadian mereka, untuk aturan masyarakat, untuk syi'ar mereka, dan lain sebagainya. Pada dasarnya tahapan dakwah yang pertama adalah menanamkan aqidah, baru kemudian permasalahan lain menyusul setelah tertanamnya aqidah.
Nabi Saw. telah menyeru kaumnya kepada tauhid yang murni di Mekah. Beliau bersungguh-sungguh dalam mengubah berbagai penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Itu semua tak terlepas dari tauhid. Cukuplah surat makiyah berikut ini dapat mengobati masyarakat. Allah berfirman, "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, yaitu hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?" (Al-Muthaffifin: 1-6). Tidakkah kamu melihat, bagaimana hubungan dakwah kepada keadilan dengan iman kepada Allah dan hari akhir?
2. Mengetahui waktu. Kesadaran yang tinggi terhadap realita yang terjadi di masyarakat yang menjadi ruang gerak dakwah adalah sangat penting. Ada orang bijak mengatakan, "Semoga Allah memberi rahmat orang yang mengetahui waktunya. Karena, jalannya pasti akan menjadi lurus." Sungguh mengetahui kondisi waktu, kondisi manusia yang ada di dalamnya, mengetahui bahaya yang mengancam umat, baik dari luar maupun dalam, mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh, dan yang semisal itu adalah tuntutan syar'i yang tanpanya dakwah tidak akan lurus. Tanpa mengetahui realita, seorang muslim tidak akan mungkin menerapkan kaedah "Mendatangkan mashlahat dan menghilangkan berbagai kerusakan", "Melaksanakan kesalahan yang paling kecil di antara dua kesalahan", "Menutup pintu kejelekan", dan sebagainya dari tuntunan dakwah dan dasar-dasar hukum. Barang siapa yang melakukan hal ini tanpa mengetahui kondisi waktu, keadaan kaum muslimin, dan realita mereka, maka dakwahnya tidak akan aman dan fatwa-fatwanya akan menjerumuskan kaum muslimin kepada kehancuran dan kerusakan.
Ringkas kata, bahwa mengetahui waktu, mengetahui realita, dan mengetahui permasalahan umat, baik dari dalam maupun dari luar, merupakan tuntutan syar'i, terlebih pada hari ini. Tidak akan lurus dakwah seseorang tanpa bersandar pada dasar ini. Sungguh, orang yang menyelisihi hal itu pasti akan membawa bahaya bagi dakwah dan membuka pintu fitnah yang sangat luas bagi manusia dan akan memadamkan cahaya dakwah.
3. Kesadaran yang penuh terhadap sifat-sifat para objek dakwah, kepribadian, dan tabi'at mereka. Karena, sifat dan tabi'at para objek dakwah menjadi satu, tapi sifat mereka bermacam-bermacam. Di antara mereka ada yang ridha, menerima, dan ikut berdakwah. Di antara mereka juga ada yang sudah jauh-jauh mengunci hatinya dan menutup pendengarannya dari dakwah. Di antara mereka juga ada yang terang-terangan menolak dakwah, bahkan mencela, menyakiti, dan mengusir para akitivis. Terlebih bila yang menolak adalah orang yang mempunyai kekuasaan, maka dia akan menggunakan kekuasaannya untuk menyakiti, menyiksa, mengitimidasi, dan bahkan sampai membunuh. Oleh sebab itu, seorang aktivis harus mengetahui sifat-sifat orang yang akan dijadikan objek dakwah, qana'ah dan terus-menerus memperbaiki kepribadiannya serta berdakwah dengan penuh hikmah, nasihat yang baik, dan berdiskusi dengan cara yang baik. Dan, tidak ada cara lain supaya dakwah berhasil kecuali dengan dua hal: mempunyai ilmu yang benar dan disertai dengan keimanan.
Pokok Aktivitas Dakwah di Bawah Naungan Pemerintahan Non-Muslim
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. Berkata, "Sesungguhnya pertimbangan yang harus dilaksanakan oleh seorang mukmin ada dua hal: pertama, benci tinggal di dalamnya. Kedua, tetap tinggal di dalamnya bila maslahatnya lebih besar daripada mafsadahnya (kerusakannya), atau meninggalkannya karena mafsadahnya lebih besar terhadap agamanya. Dan, menghilangkan mafsadah yang besar dengan melaksanakan mafsadah yang paling kecil di antara keduanya atau dengan mendatangkan mashlahat yang lebih besar dengan melaksanakan sesuatu yang mafsadahnya lebih kecil. (Majmu' Fatawa 15/253).
Dalam kaedah ushul fiqih dikatakan, "Bila terkumpul antara mashlahat dan mafsadah, maka yang diamalkan adalah yang paling benar di antara keduanya." Begitu juga dengan berdakwah di bawah naungan pemerintahan yang tidak berhukum dengan syari'at, tidak akan tercapai sebuah kemashlahatan kecuali dengan melaksanakan kemudharatan yang lebih kecil. Dan, kemudharatan tidak akan hilang dan musnah kecuali dengan mengorbankan kemashlahatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Adanya syari'at adalah untuk mencapai kemashlahatan, menyempurnakannya, dan untuk menghilangkan kemudharatan atau memperkecil kemudharatan. Dengannya dapat menimbang antara dua kebaikan, mana yang lebih baik dan antara dua kejelekan mana yang lebih ringan kejelekannya. Dan, dengan adanya syari'at juga untuk mencapai kemashlahatan yang lebih besar dengan melaksanakan sesuatu yang mafsadahnya lebih kecil dan menghilangkan mudharat yang lebih besar dengan mengorbankan kemashlahatan yang kecil." (Majmu' Fatawa 20/48).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kaedah pokok untuk menimbang antara mashlahat dan mafsadah pada dasarnya ada dua hal.
1. Melaksanakan mafsadah yang lebih kecil untuk mencegah mafsadah yang lebih besar atau untuk mencapai kemashlahatan yang lebih besar.
2. Mengorbankan mashlahat yang kecil untuk mencapai mashlahat yang besar atau untuk mencegah mafsadah yang lebih besar.
Berikuti kisah Nabi Allah, Yusuf, a.s. Beliau adalah wakilnya Fir'aun di Mesir. Fir'aun dan kaumnya adalah orang-orang musyrik. Allah Ta'ala berfirman, "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 39-40).
Yusuf a.s. bekerja dengan sangat adil dan baik, menyeru mereka kepada keimanan ketika ada kesempatan. Yusuf tidak mungkin bisa melakukan semua keinginannya karena kaumnya tidak mau menerimanya. Tapi, beliau tetap berbuat adil dan baik. Beliau berada di bawah kekuasan untuk memuliakan orang-orang beriman yang tidak mungkin dapat mencapainya tanpa perantara tersebut. Hal ini termasuk makna yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala, "Bertakwalah kepada Allah semampu kalian." (At-Taghabun: 16).
Akhlak Seorang Da'i di Bawah Naungan Pemerintahan yang Tidak Menegakkan Syari'at Islam
Untuk mencapai kesuksesan dalam berdakwah di bawah pemerintahan yang tidak menerapkan syari'at Islam, seorang da'i harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Mengetahui aturan dan system politik yang berlaku di negaranya dan selalu memantau perkembangannya. Hal itu ditujukan supaya tidak salah langkah dalam berdakwah di negara yang tidak menegakkan syari'at Islam.
2. Ikut berpartisipasi dengan pemerintah dalam berbagai kegiatan kemanusiaan dan sosial. Karena, dalam kegiatan seperti itu pasti pemerintah membutuhkan partisipasi dari para aktivis untuk mengembangkan dan memajukan masyarakat.
3. Waspada bila dakwah Islam hanya dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik tertentu. Maka seorang da'i jangan mengumumkan keikutsertaannya dalam partai politik atas nama dakwah. Karena, hal itu akan meyebabkan perpecahan dengan para da'i yang berada di partai politik lain.
4. Bermuamalah dengan baik terhadap kaum muslimin dan selalu mendorong mereka untuk berbuat baik dan menuntut ilmu.
5. Memilih orang yang tepat untuk mengemban dakwah dan menyampaikannya dengan penuh hikmah serta memilih metode yang tepat dalam menghadapi orang-orang non-muslim, sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Al-An'am: 108).
6. Mempunyai kemampuan di depan masyarakat dalam berinteraksi dengan mereka dan memiliki kemampuan untuk menghilangkan kejelekan yang ada di setiap jiwa anggota masyarakat sebaga objek dakwah.
7. Menyebarkan dan membuka tempat-tempat pendidikan agama Islam di masyarakat.
8. Berusaha untuk menyatukan barisan para aktivis dengan berlandaskan Islam, bukan kabilah, suku, atau bangsa.

Sumber: Diadaptasi dari "Wazhifatud Da'iyah Wa Akhlaqiyah fi Zhilli Sulthat Ghaira Islamiyah" , Dr. Ibrahim Syeta Tsani
read more...