Adsense Indonesia

Thursday, January 14, 2010

Ja'far Bin Abi Thalib

Oleh Zul Fahmi, 12 September 2009

(Rasulullah n bersabda: "Aku lihat Ja'far bin Abi Thalib a terbang di dalam surga seperti malaikat, terbang di dalamnya dengan sayap lebar yang berlumur darah." )


A. Nasabnya
Dia adalah Ja’far bin Abi Thalib a. Dan nama Abu Thalib adalah ‘Abdu Manaf bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai Al-Qurasyi Al-Hasyimi. Ia adalah anak paman (sepupu) Rasulullah n, dan saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib a. Ia dijuluki dengan Abu ‘Abdullah karena anaknya bernama ‘Abdullah.

Ibunya adalah Fathimah binti Asad bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai.
Ja’far adalah anak ketiga dari ayahnya Abu Thalib, dan Thalib adalah anaknya yang terbesar, kemudian ‘Uqail, setelah ‘Uqail adalah Ja’far dan setelah Ja’far adalah ‘Ali. Setiap seorang dari mereka lebih besar sepuluh tahun dari saudaranya. ‘Ali adalah anak yang paling muda. Ibu mereka adalah Fathimah binti Asad bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai. Fathimah adalah Hasyimiyah pertama yang dinikahi oleh Hasyimi. Ia telah masuk Islam dan berhijrah ke Madinah. Meninggal pada masa Rasulullah n, dan Rasulullah n ikut menguburkannya.

Ja’far a telah masuk Islam pada saat Rasulullah n belum memasuki Darul (rumah) Arqam bin Abil Arqam a yang di dalamnya Rasulullah n menyerukan dakwahnya. Ia masuk Islam tidak lama setelah Islamnya saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib a. Diriwayatkan bahwa suatu saat Abu Thalib melihat Nabi n shalat bersama ‘Ali a, dan ‘Ali berada di samping kanan beliau, maka kemudian ia berkata kepada Ja’far a:

صل جناح ابن عمّك، و صلِّ على يساره
“Sambunglah sayap saudara sepupumu, dan shalatlah di sebelah kirinya”.
Ada yang mengatakan bahwa Ja’far a masuk Islam setelah tiga puluh satu orang masuk Islam, dan dia adalah yang ke tiga puluh dua. Maka Ja’far a, termasuk dari golongan yang pertama kali masuk Islam.

B. Keluarganya
Istrinya adalah Asma` binti ‘Umais bin An-Nu’man bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah bin Khats’am Al-Khats’imiyah s. Lahirlah darinya di Habasyah tiga orang anaknya: ‘Abdullah, ‘Aun dan Muhammad.

C. Berhijrah ke Habasyah
Ketika Rasulullah n melihat ujian yang ditimpa oleh para sahabatnya, dan tidak adanya keamanan, sedangkan beliau tidak mampu untuk menghalangi dari musibah yang menimpa mereka, maka beliau n kepada mereka: “Seandainya kalian keluar ke negeri Habasyah, sungguh di sana terdapat seorang raja yang tidak pernah mendzalimi seorang pun dari rakyatnya, ia adalah negeri kebenaran, sehingga hal dapat menjadi jalan keluar bagi kalian atas musibah ini.”

Di Habasyah terdapat seorang raja yang adil yang bernama An-Najasyi, ia tidak pernah mendzalimi seorang pun di tempat ia berkuasa.
Maka keluarlah kaum Muslimin, para sahabat Rasulullah n, ke negeri Habasyah untuk menghindari terjadinya fitnah. Ini terjadi pada tahun Ke-lima dari kenabian, delapan tahun sebelum hijrah ke Madinah. Dan ini adalah hijrah pertama di dalam Islam dan hijrah yang pertama ke negeri Habasyah.

Sebagaimana Ja’far adalah termasuk dari golongan yang pertama kali masuk Islam, maka ia juga menjadi salah satu dari orang-orang yang berhijrah ke Habasyah. Ia berhijrah ke Habasyah bersama istrinya, Asma` binti ‘Umais bin An-Nu’man bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah bin Khats’am Al-Khats’imiyah s. Maka lahirlah darinya di Habasyah tiga orang anaknya: ‘Abdullah, ‘Aun dan Muhammad.

Nabi n mengutus Ja’far a untuk menyampaikan surat kepada An-Najasyi.
Nabi n telah memberikan surat ini kepada sepupunya, Ja’far a untuk disampaikan kepada An-Najasyi sewaktu hijrahnya ke Habasyah, meminta agar An-Najasyi memberikan keadilan kepada orang-orang asing yang datang di negerinya dari kaum Muslimin. Yang mana mereka adalah orang-orang yang pertama kali hijrah dari kaum Muslimin ke negeri Habasyah. Nabi n juga menyeru An-Najasyi kepada Islam.

Ketika kaum Quraisy melihat para sahabat Rasulullah n telah mendapatkan keamanan dan ketentraman berada di negeri Habasyah, serta mendapatkan tempat tinggal ketenangan di sana, maka mereka mengutus dua orang yang kuat pendiriannya dari kaum Quraisy kepada raja An-Najasyi untuk memberikan fitnah kepada mereka tentang agama mereka dan mengeluarkan mereka dari tempat hijrah mereka. Kaum Quraisy mengutus ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amru bin Al-‘Ash bin Wail. Mereka mengumpulkan untuk keduanya hadiah-hadiah yang akan diberikan kepada An-Najasyi dan para Batrixnya. Mereka menyuruh keduanya untuk memberikan hadiah-hadiah tersebut kepada setiap Batrix sebelum menemui An-Najasyi untuk membicarakan tentang kaum Muslimin yang berhijrah ke negeri Habasyah. Tidak ada satu Batrixpun dari para Batrix, melainkan telah mereka beri hadiah sebelum menemui An-Najasyi. Mereka mengatakan kepada setiap batrix, “Sungguh telah datang serombongan pemuda yang bodoh yang berlindung ke negeri raja kalian ini. Mereka telah memecah belah agama kaum mereka. Tetapi mereka tidak juga masuk ke dalam agama kalian. Mereka datang dengan membawa agama baru yang tidak kami ketahui dan tidak kalian ketahui. Kami telah diutus kepada Raja untuk membahas mereka, yang mana kami adalah orang yang paling mulia diantara kaum mereka untuk membawa mereka kembali kepada kaumnya. Maka jika kami menemui Raja untuk membicarakan masalah ini, maka berikanlah petunjuk kepada Raja agar dia menyerahkan mereka kepada kami, karena sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui kejelekan yang mereka lakukan terhadap kaum mereka.” Maka mereka –para Batrix- mengatakan, “Ya.”
Kemudian kedua utusan Quraisy menyerahkan hadiah-hadiah kepada An-Najasyi dan diterimanya. Keduanya berkata kepada An-Najasyi, ‘Wahai paduka raja, sesungguhnya telah menyusup ke negeri paduka anak-anak muda kami yang tidak waras. Mereka meninggalkan agama kaumnya dan tidak masuk kepada agamamu. Mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri. Kami tidak mengenal agama tersebut, begitu juga paduka. Sungguh kami diutus ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan keluarga besar mereka untuk membawa mereka pulang kepada kaumnya, karena kaumnya lebih paham apa yang mereka katakan, dan lebih mengerti apa yang mereka cela’.”

Tidak ada sesuatu yang paling dibenci ‘Abdullah bin Abu Rabi’ah dan ‘Amr bin Al-‘Ash bila An-Najasyi mendengar perkataan kaum Muhajirin. Para Batrix di sekeliling An-Najasyi berkata, “Keduanya berkata benar, wahai paduka raja. Kaum mereka lebih paham apa yang mereka katakan, dan lebih mengerti terhadap apa yang mereka cela. Oleh karena itu, serahkan mereka kepada kedua orang ini, agar keduanya membawa mereka pulang ke negeri dan kaum mereka’.”

An-Najasyi murka. Ia berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua. Jika ada suatu kaum hidup berdampingan denganku, dan memilihku daripada orang selain saya, maka aku harus mengundang dan bertanya kepada mereka tentang apa yang dikatakan dua orang ini tentang mereka. Jika mereka seperti dikatakan kedua orang ini, aku serahkan mereka kepada keduanya dan aku pulangkan mereka kepada kaumnya. Namun, jika mereka tidak seperti dikatakan keduanya, aku melindungi mereka dari keduanya, dan melindungi mereka dari keduanya, dan melindungi mereka selama tinggal berdampingan denganku.”

Kemudian An-Najasyi mengutus seseorang kepada sahabat-sahabat Rasulullah n dan mengundang mereka. Ketika utusan raja An-Najasyi tiba di tempat mereka, maka mereka segera mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, sebagian Muhajirin berkata kepada sebagian Muhajirin yang lain, “Apa yang kalian katakan kepada raja jika kalian datang kepadanya?” Mereka berkata, “Demi Allah, kami mengatakan apa yang telah kami ketahui. Apa yang diperintahkan Nabi dalam hal ini, itulah yang akan kita kerjakan.” Ketika mereka tiba di tempat An-Najasyi –yang ketika itu memanggil para uskupnya yang kemudian menebarkan mushaf-mushaf mereka di sekitar An-Najasyi. An-Najasyi bertanya kepada Muhajirin, ‘Apa sih sebenarnya yang berbeda agama kalian dengan agama kaum kalian, dan mengapa kalian tidak masuk ke dalam agamaku, serta tidak masuk ke dalam salah satu dari agama-agama yang ada?’”

Ketika itu yang menjadi pemimpin orang-orang yang berhijrah ke Habasyah adalah Ja’far bin Abi Thalib a. Maka Ja’far mewakili kaum Muslimin berkata kepadanya, “Wahai raja! Kami adalah kaum jahiliyah, kami menyembah berhala, kami memakan bangkai, kami melakukan perbuatan yang keji dan memutus tali persaudaraan, menyakiti tetangga, yang kuat di antara kami menindas yang lemah di antara kami, kami berada di atas itu semua hingga Allah l mengutus kapada kami seorang Rasul dari golongan kami, yang mana kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanatannya dan kejauhan dirinya dari hal-hal yang buruk. Ia menyeru kami kepada Allah l untuk mengesakannya, menyembahnya dan meninggalkan apa yang kami dan nenek moyang kami menyembahnya berupa batu-batu dan berhala-berhala. Ia menyuruh kami untuk berkata jujur, menyampaikan amanat, menyambung tali persaudaraan dan berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari hal-hal yang diharamkan dan darah, melarang kami dari perbuatan keji dan berkata dusta serta memakan harta anak yatim, menuduh perempuan baik-baik melakukan zina, dan kami diperintahkan untuk menyembah hanya kepada Allah l tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan memerintahkan kami untuk melaksanakan shalat, membayar zakat dan berpuasa –kemudian Ja'far menyebutkan beberapa perkara dalam Islam-, maka kami membenarkannya, beriman kepadanya dan mengikutinya atas apa yang ia bawa dari Allah l, maka kami hanya beribadah kepada Allah l dan tidak menyekutukan-Nya, kami mengharamkan apa yang diharamkan kepada kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan kepada kami. Maka kemudian kaum kami memusuhi kami, kemudian menyiksa kami, memfitnah kami agar kami keluar dari dien kami yang menyembah Allah l kepada penyembahan kepada berhala, agar kami menghalalkan perbuatan buruk. Maka ketika menyiksa kami, mendzalimi kami dan menghalangi dari dien kami, kami keluar ke negerimu, kami memilihmu dari selain anda, kami senang berada di sisimu dan kami mengharap agar engkau tidak mendzalimi kami, wahai raja.” Maka kemudian An-Najasyi berkata kepadanya, “Apakah kamu membawa sesuatu yang datangnya dari Allah l?” Maka kemudian Ja’far membacakan awal surat (كهيعص) . Maka menangislah An-Najasyi hingga membasahi jenggotnya, juga para pendetanya hingga membasahi mushaf-mushaf mereka ketika mendengarkan apa yang dibacakan kepada mereka. An-Najasyi berkata, “Sungguh hal ini dan apa yang datang dari ‘Isa adalah berasal dari sumber yang satu. Pergilah kalian berdua, hai utusan Quraisy! Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua, dan mereka tidak bisa diganggu.”

Ketika kedua utusan Quraisy keluar dari hadapan An-Najasyi, ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Demi Allah, besok pagi aku mengahadap An-Najasyi dan memojokkan mereka.” ‘Abdullah bin Abu Rabi’ah –orang yang paling kuat di antara orang-orang Quraisy- berkata, “Jangan kerjakan itu, karena mereka mempunyai kerabat kendati mereka berseberangan dengan kita.” ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Demi Allah, aku akan jelaskan kepada An-Najasyi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad meyakini Isa bin Maryam adalah hamba biasa.”

Keesokan harinya, ‘Amr bin Al-‘Ash menghadap An-Najasyi untuk kedua kalinya dan berkata kepadanya, “Wahai paduka raja, mereka mengakatakan sesuatu yang aneh tentang Isa bin Maryam. Oleh karena itu, kirim orang untuk menghadirkan mereka ke sini agar engkau bisa bertanya tentang tanggapan mereka terhadap Isa bin Maryam!” An-Najasyi mengirim seseorang untuk menanyakan tanggapan kaum Muslimin terhadap Isa bin Maryam.
Ummu Salamah s berkata, “Kami belum pernah menghadapi persoalan seperti ini sebelumnya. Di sisi lain, kaum Muslimin mengadakan pertemuan. Sebagian di antara mereka bertanya kepada sebagian yang lain, ‘Apa yang akan kalian katakan tentang Isa bin Maryam jika An-Najasyi bertanya kepada kalian?’ Sebagian yang lain menjawab, ‘Demi Allah, kita katakan seperti yang difirmankan Allah, dan dibawa Nabi kita. Itulah yang akan kita katakan’.”

Ketika kaum Muslimin masuk ke tempat An-Najasyi, An-Najasyi bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far a menjawab, “Menurut kami, Isa bin Maryam ialah seperti yang dikatakan Nabi kami bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Ruh-Nya dan Kalimat-Nya yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam yang perawan.” An-Najasyi membungkuk ke tanah guna mengambil tongkat, kemudian berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakan Isa bin Maryam tentang tongkat tidak berbeda dengan apa yang engkau katakan.”

Para Batrix yang di sekitar An-Najasyi pun mendengus ketika mendengar apa yang dikatakan An-Najasyi. An-Najasyi berkata, “Kendati kalian mendengus!” Kepada kaum Muslimin, An-Najasyi berkata, “Pergilah, kalian aman di negeriku. Barangsiapa menghina kalian, ia merugi. Barangsiapa menghina kalian, ia merugi. Barangsiapa menghina kalian, ia merugi. Aku tidak suka memiliki gunung dari emas sedangkan aku menyakiti salah seorang dari kalian. Kembalikanlah hadiah-hadiah ini kepada dua orang utusan Quraisy itu, karena aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak mengambil suap dariku ketika Dia mengembalikan kekuasaan kepadaku kemudian aku mengambil suap di dalamnya. Manusia juga tidak patuh kepadaku hingga kemudian aku harus taat di dalamnya.” Kemudian kedua utusan Quraisy keluar dari hadapan An-Najasyi dalam keadaan terpukul hatinya dan hadiah-hadiah yang dibawanya ditolak An-Najasyi. Sedangkan kaum Muslimin tetap tinggal di negeri An-Najasyi dengan nyaman dan tetangga yang baik.

D. Berhijrah Ke Madinah Al-Munawarah
Ketika Nabi n berhijrah dari Makkah Al-Mukarramah ke Madinah Al-Munawarah, juga diizinkannya kaum Muslimin untuk berhijrah ke sana, maka Rasulullah n memulai dengan saling mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Rasulullah n mempersaudarakan Ja’far a dengan Mu’adz bin Jabal a, dari Bani Salamah Al-Anshari sedangkan ketika itu Ja’far a masih berada di Habasyah.

Kebanyakan ahli sejarah tidak menyebutkan persaudaraan antara Ja’far a dengan Mu’adz bin Jabal a, karena Al-Mu`akhah (saling mempersaudarakan) ini terjadi setelah datangnya Rasulullah n ke Madinah, sebelum terjadinya perang Badar Al-Kubra. Kemudian turunlah ayat tentang masalah waris pada perang Badar, maka kemudian terputuslah Al-Mu`akhah ini sedangkan ketika itu Ja’far a masih berada di Habasyah.
Rasulullah n mengutus ‘Amru bin Umayyah Adh-Dhamri pergi kepada An-Najasyi untuk menyeru kepada Islam pada tahun 6 H. Beliau menulis surat kepada An-Najasyi, maka kemudian An-Najasyi a masuk Islam. Rasulullah n juga memerintahkan An-Najasyi untuk menikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan bin Harb s kemudian memulangkannya beserta kaum Muslimin.

An-Najasyi a telah beriman kepada Nabi n dan mengikutinya. Ia masuk Islam dihadapan Ja'far bin Abi Thalib a. Kemudian ia mengutus anaknya pada tahun ke-enam dari awal hijrah ke Habasyah, tetapi anaknya tenggelam di tengah laut . An-Najasyi a juga mengirim sebuah baju kebesaran untuk Rasulullah n. Ia mengirim surat kepada nahkoda kapalnya dengan mengatakan, "Lihatlah apa yang dibutuhkan oleh mereka (orang-orang yang hijrah) ketika di dalam kapal." Maka mereka mengatakan, "Mereka membutuhkan dua buah kapal." Maka kemudian An-Najasyi a menyiapkan untuk mereka.

Nampaknya Nabi n mengutus 'Amru bin Umayyah kepada An-Najasyi pada akhir tahun ke-6 Hijriyah dan kembali pada awal tahun ke-7 Hijriyah. Karena kaum Muhajirin yang hijrah ke Habasyah, yang dipimpin oleh Ja'far, kembali dari negeri Habasyah ke Madinah Al-Munawarah setelah terjadinya perang Khaibar yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah.

Ketika itu Ja'far bin Abi Thalib datang bersama rombongannya bersamaan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang Khaibar. Ketika melihat Ja'far, maka Rasulullah n langsung memeluknya dan mencium keningnya , kemudian bersabda, "Demi Allah, aku tidak tahu yang manakah yang lebih membuatu gembira, antara kedatangan Ja'far atau karena kemenangan Khaibar."
Ja'far a telah berhijrah di negeri Habasyah dari tahun ke-8 sebelum hijrah ke Madinah (tahun ke-5 Kenabian) hingga awal tahun ke-7 Hijriyah.

E. Perang Mu’tah
Setelah tentara Muslimin berhasil menundukkan kekuatan kaum Yahudi di Khaibar, dan setelah keamanan dan stabilitas berhasil ditegakkan di Hijaz, maka Rasulullah n berpikir untuk memusatkan dakwahnya kepada penduduk di kawasan-kawasan perbatasan dengan Syam. Untuk itu Rasulullah n mengutus salah seorang sahabat, bernama Al-Harits bin Umair Al-Azdi –salah seorang dari Bani Lahab-, dengan membawa sepucuk surat untuk diserahkan kepada pemimpin Bushra , untuk menyeru ke dalam agama Islam. Ketika telah sampai Mu'tah ia bertemu dengan Syurhabil bin 'Amru Al-Ghassani kemudian ia dibunuh olehnya. Tidak ada seorang pun utusan Rasul n yang dibunuh selainnya. Maka Rasulullah n marah dengan terjadinya hal itu. Maka Nabi n mengutus Sariyah Mu'tah pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 Hijriyah (629 M). Mereka berjumlah 3000 pasukan. Rasulullah n bersabda, "Panglima perang adalah Zaid bin Haritsah a, jika telah terbunuh maka digantikan oleh Ja'far bin Abi Thalib a, jika terbunuh maka digantikan oleh 'Abullah bin Rawahah a, jika terbunuh maka hendaklah kaum Muslimin memilih salah seorang yang mereka ridhai untuk menjadi pemimpin mereka."
Rasulullah n memberikan bendera yang berwarna putih kepada Zaid bin Haritsah a, kemudian beliau mewasiatkan kepada mereka untu menuju ke tempat terbunuhnya Al-Harits bin 'Umair untuk menyeru kepada penduduk yang ada di sana untuk masuk Islam, jika mereka menjawabnya biarkanlah, tetapi jika tidak maka mintalah pertolongan kepada Allah l kemudian perangilah mereka. Rasulullah n mengantar mereka hingga sampai ke Tsaniyatul Wada' kemudian berhenti dan melepas mereka serta mengucapkan salam kepada mereka.

Ibnu Ishaq berkata, "Pasukan kaum muslimin berjalan dan singgah di Ma’an, daerah di Syam. Di sana, mereka mendapat kabar bahwa Hiraklius tiba di Ma’ab, daerah di Al-Balqa’, dengan membawa seratus ribu tentara Romawi dan seratus ribu tentara gabungan dari Lakhm, Judzam, Al-Yaqin, Bahra’, dan Baly dipimpin salah seorang dari Baly kemudian dari Irasyah bernama Malik bin Zafilah. Ketika kaum muslimin mendengar informasi tersebut, mereka menetap di Ma’an dua malam untuk berpikir. Sebagian dari mereka berkata, ‘Kita kirim surat kepada Rasulullah n dan kita jelaskan jumlah musuh, agar beliau mengirim bantuan personel atau menyuruh kita pulang’. Abdullah bin Rawahah a memberi motivasi kepada mereka dengan berkata, ‘Hai kaum muslimin, demi Allah, sesuatu yang kalian takuti pada hakikatnya adalah sesuatu yang kalian minta selama ini, yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh dengan jumlah besar pasukan atau kekuatan, namun kita memerangi mereka dengan agama Islam dimana Allah memuliakan kita dengannya. Berangkatlah kalian, niscaya kalian mendapatkan salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid’. Kaum muslimin berkata, ‘Sungguh Abdullah bin Rawahah berkata benar’. Mereka pun berangkat."

"Kaum muslimin terus berjalan. Ketika tiba di perbatasan Al-Balqa’ tepatnya di desa Masyarif, mereka bertemu pasukan Romawi dan pasukan gabungan orang-orang Arab. Kedua belah pihak saling mendekat, namun kaum muslimin pindah ke desa Mu’tah. Di sanalah, kedua belah pihak bertemu. Kaum muslimin bersiap-siap untuk menghadapi musuh dengan menunjuk salah seorang dari Bani Udzrah bernama Quthbah bin Qatadah sebagai komandan pasukan sayap kanan dan salah seorang dari kaum Anshar bernama Abayah bin Malik a. (Ibnu Hisyam berkata, "Ada yang mengatakan 'Ubadah bin Malik.")

Kedua belah pihak bertemu kemudian saling serang. Zaid bin Haritsah a bertempur dengan memegang bendera perang Rasulullah n hingga gugur karena terkena tombak musuh kemudian bendera perang diambil alih Ja’far bin Abu Thalib a. Ketika perang memuncak, Ja’far bin Abu Thalib a turun dari kudanya dan menyembelihnya. Setelah itu, ia menyerang musuh hingga gugur.

Alangkah indahnya Surga dan betapa dekatnya
Segar dan dingin air minumnya
Tentara Romawi telah dekat kehancurannya
Jika bertemu dengannya, niscaya aku hancuran mereka

Syair-syair itulah yang disenandungkan Ja'far a ketika ia bertempur dan berjuang di medan Mu'tah sehingga terbunuh dalam peperangan Mu'tah.
Ibnu Hisyam berkata, "Diceritakan kepadaku oleh seseorang yang sangat terpercaya dan termasuk ahli ilmu bahwa Ja'far bin Abi Thalib membawa bendera perang dengan tangan kanannya, kemudian mendapat sabetan pedang hingga putus, lalu dia membawa bendera itu dengan tangan kirinya, tangan kirinya juga terkena tebasan pedang hingga putus. Kemudian bendera itu ia dekap dengan kedua lengan atasnya sehingga beliau terbunuh."
Ketika itu beliau berumur 33 tahun (ada yang mengatakan 42 tahun ketika beliau wafat). Allah mengganti kedua tangannya dengan dua buah sayap, beliau terbang di dalam surga ke mana saja beliau mau.

Ada seorang perawi yang bertutur, "Seorang lelaki bangsa Romawi menebaskan pedang ke arah Ja'far sehingga tangannya terputus setengah."
Ibnu Umar berkata, "Pada hari pertempuran di Mut'ah itu ia dekap tubuh Ja'far dan aku temukan lebih dari 40 luka karena tusukan panah dan sabetan pedang mengenai bagian depan tubuhnya."

Juga didapatkan luka di antara kedua pundaknya 90 luka karena tusukan panah dan sabetan pedang, dan dalam riwayat yang lain disebutkan ada 72 luka.
Ibnu Ishaq berkata, diriwayatkan dari Asma` binti 'Umais s berkata, "Ketika Ja'far bin Abi Thalib a dan sahabat-sahabatnya gugur, Rasulullah n mengunjungik. Ketika itu aku telah menyamak sebanyak empat puluh kulit, membuat adonan roti, memandikan ana-anakku, meminyaki rambut dan membersihkan mereka. Rasulullah n bersabda, "Bawa kemari anak-anak Ja'far." Aku bawa anak-anakku ke hadapan beliau, kemudian beliau mencium mereka satu persatu dengan air mata berlinang. Aku berkata, "Wahai Rasulullah n, ayah ibuu menjadi tebusanmu, mengapa engkau menangis? Apakah engkau menerima informasi tentang Ja'far dan sahabat-sahabatnya?" Rasulullah n bersabda, "Mereka gugur pada hari ini." Aku berdiri dan berteriak hingga wanita-wanita berkumpul di sekitarku. Kemudian Rasulullah n keluar dari rumahku dan bersabda, "Janganlah kalian lupa memasak untuk keluarga Ja'far, sebab mereka sedih karena keatian Ja'far."

Rasulullah n bersabda, "Mintakanlah ampun untuk saudara kalian Ja'far, karena ia syahid, ia telah masuk surga, dan dia terbang dengan dua sayap dari yaqut kemanapun ia mau."
Rasulullah n juga bersabda: "Aku lihat Ja'far bin Abi Thalib terbang di dalam surga seperti malaikat, terbang di dalamnya dengan sayap lebar yang berlumur darah."

F. Ja’far dalam Sejarah
Disebutkan di dalam sejarah bahwa, Ja’far termasuk dari golongan yang pertama kali masuk Islam, yaitu masuk Islam sebelum Rasulullah n memasuki rumah Al-Arqam bin Abil Arqam.
Dia adalah orang yang berhijrah dua kali: Hijrah ke Habasyah dari Makkah dalam hijrahnya yang pertama, dan ke Madinah dari Habasyah.
Dia termasuk orang-orang yang pertama kali berhijrah ke Habasyah, dan termasuk orang-orang yang terakhir pulang dari Habasyah ke Madinah.
Dia adalah pemimpin orang-orang yang berhijrah ke Habasyah, sejak awal hijrahnya ke Habasyah dari Makkah, hingga kembalinya mereka dari Habasyah ke Madinah.
Dia adalah orang yang pertama kali diutus dalam Islam, yaitu yang pertama kali diutus untuk menyampaikan sebuah surat dari surat-surat Nabi n kepada raja-raja dan para penguasa.

Disebutkan bahwa An-Najasyi raja Habasyah masuk Islam di hadapan Ja’far, juga beberapa orang dari Ahbasy.
Dia adalah orang yang membela Islam dengan lisannya di hadapan An-Najasyi, sehingga An-Najasyi membela kaum Muslimin atas musuh-musuh mereka kaum Musyrikin.
Dia adalah orang yang paling menyerupai Nabi n baik secara fisik maupun akhlaknya dan termasuk orang-orang yang paling beliau cintai dan yang paling dekat di hati beliau.

Dia adalah seorang dermawan dari para dermawan Arab yang terkenal, dia adalah orang yang paling baik kepada para fakir miskin.
Dia adalah salah seorang panglima Nabi n, yang memimpin perang Mu’tah. Dia berjuang dengan gigih hingga menemui kesyahidannya dalam peperangan ini tanpa menjatuhkan bendera perang Nabi n yang ia bawa dengan giginya setelah kedua tangannya putus.
Semoga Allah l meridhoimu wahai utusan Nabi n, sahabat yang mulia, panglima yang syahid di medan perang, sang pemilik sayap Ja’far bin Abi Thalib Al-Hasyimi Al-Qurasyi.

(Diintisarikan dari Majalah "Al-Buhuts Al-Islamiyah", yang ditulis oleh Mahmut Sayyit Khaththab, jilid 27, hal. 191-211, dengan sedikit penambahan dan pengurangan tanpa merubah isi kandungan)
read more...

Kegetiran Sejarah Andalusia

Oleh Zul Fahmi, 14 September 2009

Penyebaran Islam ke Eropa Barat khususnya ke Andalus (kini meliputi Spanyol dan Portugal), telah dilakukan kurang dari satu abad, tepatnya 78 tahun setelah Rasulullah wafat, yaitu ketika terjadi penyebaran kekuasaan kekhalifahan Islam ke berbagai belahan dunia. Mengenali lebih jauh perjalanan Islam ke Eropa, berarti menapaki perjalanan sejarah yang cukup panjang.


Penaklukan Andalus oleh bangsa Arab merupakan babak sejarah yang cemerlang. Bermula dari pendaratan pasukan Thariq bin Ziyad di sebuah bukit yang kemudian diberi nama Jabal Thariq (Gibraltar) tahun 711 M pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Selanjutnya serangan demi serangan mampu menaklukan hampir seluruh Semenanjung Iberia (Andalus), yang ketika itu merupakan propinsi Kekaisaran Romawi.

Di antara penguasa Bani Umayyah, yang paling terkenal dan paling besar adalah Abdurrahman III (912-976 M). Ia merupakan penguasa Andalus yang cakap. Pada masa pemerintahannya Andalus dan ibukotanya Cordova mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, sampai pada puncak kejayaannya. Ia berhasil menggali sumber daya manusia dan ekonomi tanah Spanyol sehingga menghasilkan kekayaan yang berlimpah ruah, pada saat Eropa masih mengalami kegelapan. Ia juga berhasil menciptakan kondisi yang tentram dan damai, dengan tingkat toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama yang berbeda.

Kejayaan Bani Umayyah di Andalus selanjutnya berangsur-angsur memudar, muncullah dinasti-dinasti kecil yang menyebabkan disintegrasi kekuatan Islam. Di lain pihak, kaum Nasrani berusaha bersatu untuk menghancurkan kerajaan Islam. Cordova dapat dikuasai kaum Kristen pada tahun 1236 M. Pernikahan Ratu Izabela dari Castilia dan Raja Ferdinand dari Aragon memunculkan kekuatan dan melakukan penyerangan pada tahun 1469 M. Kerajaan Arab yang terakhir Bani Ahmar tak dapat bertahan, diserahkannya kunci kota Granada benteng terakhir kekhalifahan dan akhirnya ia memilih tanah Afrika sebagai tempat pembuangannya. Dengan demikian secara politik kekuatan Islam berakhir pada penghujung abad ke 15.

Setelah Kaum Kristen menguasai Andalus, mulailah dilakukan gerakan Kristenisasi di Andalus, padahal Islam telah bertahan selama 700 tahun. Para penduduk dipaksa kembali untuk menganut agama Kristen, semua literatur Arab dihanguskan. Pada tahun 1556 M, Raja Philip II membuat undang-undang agar kaum Muslimin yang tinggal di Andalus membuang kepercayaan, bahasa, adat istiadat, dan cara hidupnya. Pada tahun 1609 M, Raja Philip III mengusir secara paksa semua penganut Islam keluar dari Andalus, atau masuk Kristen. Dengan demikian sirnalah sisa-sisa penyebaran Islam ke Eropa, tinggal hanya sisa peninggalan bangunan yang kini telah berubah menjadi istana Kristen.

Sama seperti kondisi kekuasaannya, sastra (Arab Islam_red) juga mengalami jatuh bangun. Karena sastra merupakan refleksi dan dokumen sejarah yang mencakup semua sendi kehidupan yang terjadi kala itu. Semua peristiwa seperti peperangan, kemajuan keilmuan, pengembangan kota dan berbagai gejala kemasyarakatan pasti terdokumentasikan dalam karya sastra. Tulisan ini mencoba melihat kondisi dan perkembangan sastra Arab di Andalus, terutama dalam masa perwalian dan kekacauan politik selama 55 tahun. Suatu masa pembuka jalan keberanian tentara salib untuk menaklukkan Islam di Andalus. Kejatuhan kota-kota Andalus yang berantai pada masa dinasti Thawâif setelah itu, disamping menyebabkan prahara budaya dan kemanusiaan, juga memunculkan semangat nasionalisme dalam bentuk elegi sebagai ratapan terhadap hilangnya harta dan penyadaran masyarakat untuk bersatu merebut kembali mahkotanya.

Kondisi Pemerintahan Masa Perwalian dan Kekacauan Politik (976 – 1031)

Sejak Hisyam II menduduki kursi khilafah tahun 976 M, Andalus mengalami fenomena baru dalam pemerintahan karena memakai sistem perwalian. Hal ini diambil karena khalifah yang diangkat masih kecil, berumur 12 tahun. Wali pertama adalah Muhammad bin ‘Amir yang bergelar al-Manshur, seorang ambisius dan licik yang menghabisi semua teman seperjuangannya. Perdana Menteri al-Mushafy, Panglima Ghalib dan orang-orang Slaves yang setia dengan khalifah dibantainya. Sampai masyarakat Andalus tidak mengenali lagi dan lupa kepada khalifah yang sesungguhnya.

Peran wali yang terlalu besar ini mencapai puncaknya pada masa Abdurahman yang bergelar al-Makmun, ketika dia memaksa khalifah untuk mengangkatnya sebagai putra mahkota. Sampai disini mulai timbul kesadaran masyarakat Andalus untuk mengembalikan khilafah kepada Bani Umawiyah yang sebenarnya. Pada tahun 1008 M terjadilah kudeta militer yang dipimpin oleh Muhammad bin Hisyam putra khalifah sendiri. Dan dia pun berhasil menduduki kursi khilafah dengan gelar al-Mahdi. Dan berakhirlah sistem perwalian dalam pemerintahan Andalus.

Setelah terjadi kekacauan politik yang besar disebabkan perebutan kekuasaan baik antar orang-orang Umawiyah maupun persaingan dengan orang Barbar. Mereka lebih suka untuk minta bantuan kepada kerajaan Kristen di Utara, meskipun dengan imbalan penyerahan kota-kota dan benteng-benteng Andalus dan dibolehkannya tentara kristen Spanyol untuk berbuat semaunya di Cordova. Al-Mahdi lebih suka bergaul dengan Ramon III de Barcelona, sementara Sulaiman al-Mustaîn minta tolong kepada Sanco Garcia dari Castilia dalam menghadapi al-Mahdi. Model perebutan kekuasaan selama priode ini tidak jauh berbeda dari fenomena di atas. Sebuah jalan bagi kristen untuk memenangi perang salib di Andalus pada akhirnya.

Selama 22 tahun periode kekacauan politik, Andalus diperintah oleh 14 khalifah dengan jarak masa yang saling berdekatan. Kesemuanya berakhir dengan pembunuhan. Karena sering terjadinya pertumpahan darah, bencana kemanusiaan dan peradaban pun tidak bisa dihindari. Pembunuhan, pencurian, pembakaran istana dan benteng Cordova, dan jatuhnya kota-kota ke tangan tentara kristen baik melalui perebutan maupun penyerahan suka rela.

Ketidak-pastian politik di Andalus selama masa ini menghancurkan semua sektor kehidupan, industri, perdagangan, pertanian bahkan kelaparan, paceklik, wabah penyakit menular dan bencana merajalela. Rakyat kehilangan raut muka dan jati diri yang hidup dalam gelombang kegetiran dan kepahitan. Rakyat ditikam-cekam rasa ketakutan. Dan tentunya kondisi ini mempengaruhi perkembangan sastra kala itu, sampai dalam dua periode ini, sastra mengalami kemunduran dan stagnasi. Apalagi kalau dilihat dari menurunnya produktivitas karya sastra dan menyempitnya tema-tema yang dibicarakan.

Penyempitan Kultur dan Pengetahuan

Selama 55 tahun masa perwalian dan kekacauan politik, kultur dan pengetahuan tidak banyak mengalami kemajuan, bahkan sebaliknya tambah menyempit dan terbelenggu. Ada dua fenomena menarik dalam masa ini, yaitu matinya ilmu filsafat yang berkembang pesat pada masa khalifah al-Hakam al-Mustansir dan berkembang pesatnya studi bahasa Arab.

Terkuburnya filsafat lebih disebabkan intervensi pemerintah yang getol mengibarkan perang melawan filsafat dengan tujuan mengambil hati rakyat dan dukungan fuqaha. Pada masa ini terjadilah pembakaran buku-buku filsafat, mantiq dan kosmografi secara besar-besar, termasuk pembakaran perpustakaan al-Hakam al-Mustansir yang banyak menyimpan buku-buku tersebut. Bukan itu saja, para filosof dan ilmuan pun dikejar-kejar dan dipenjarakan, hal sama menimpa para pegawai perpustakaan dan sejenisnya. Suasana ini memasung kebebasan ekspresi pemikiran dan membuat takut masyarakat untuk belajar dan bersinggungan dengan ilmu-ilmu filsafat, logika dan pengetahuan lainnya. Akibat dari suasana ini pengetahuan jadi mandeg, filsafat jadi mati dan pengungsian besar-besaran para ilmuwan dan filosof ke dunia Timur untuk menghindari siksaan dan demi mendapatkan kebebasan berfikirnya. Kepedihan tragedi ini bisa dibaca dari kegetiran puisi yang dibuat salah satu penyair Andalus:

Tangisilah Cordova
Kota nan indah yang lebur
Peradaban telah terkubur
Kesejahteraan telah lenyap terkikis
Dan Semuanya kini sirna

Adapun perkembangan studi bahasa Arab tidaklah murni demi kemajuan keilmuan, tapi hanya keinginan untuk bersaing dengan ahli bahasa Arab dari Timur, seperti Mundzir bin Sa’îd ingin mengalahkan Abu Ali al-Qâly, seniman Yahya al-Ghazzâl mengalahkan Zeryâb. Mereka beranggapan bahwa dengan mengalahkan sastrawan dan ahli linguistik dari Timur berarti kemenangan sastra Andalus atas sastra Timur.

Stagnasi Sastra dan Perkembangan Semu tanpa Nilai

Politik kediktatoran yang dikembangkan pada periode ini juga berpengaruh pada sastra, baik dalam karya puisi maupun prosa. Tidak ada tema-tema baru yang muncul, bahkan tema-tema lama yang sudah mapan cenderung berkurang bahkan hilang. Aliran-aliran sastra yang pernah mapan seperti konservatif, reformis, seni rakyat dan new-konservatif semakin redup sinarnya. Kritikus sastra banyak mencatat bahwa dalam masa ini sastra merupakan lahan tersempit dan termiskin. Sangat kontras dengan kondisi sebelumnya. Sastra filsafat yang berkembang pada masa al-Hakam al-Mustansir menjadi mati sama sekali karena pemerintah yang menyatakan perang terhadapnya, disamping terjadinya stagnasi pemikiran kala itu. Tidak adanya karya sastra yang membicarakan perkembangan keilmuan yang menunjukkan kematiannya. Berbeda dengan karya sastra masa al-Hakam yang banyak menyinggung masalah filsafat, astronomi, ilmu logika, kedokteran dan sebagainya. Seperti puisi Ibnu ‘Abdi Rabbih kepada astronom Abu ‘Ubaidah berikut:

Bumi yang bulat
Menjadi titik tengah alam
Dikurung langit
Dari atas dan bawah
Dalam masa ini tidak kita dapatkan kembali karya sastra yang membanggakan keagungan dan kekuatan khilafah Andalus seperti pada masa keemasannya. Munzir bin Sa’îd pernah menuturkan kedatangan utusan Romawi kepada Abdurrahman al-Nâshir untuk menghindari serangannya dalam puisi berikut:

Manusia berbondong mengetuk pintunya
Semuanya berharap dan berangan terhadapnya
Utusan Romawi di tengah halaman istananya
Karena ketakutan akan kekuatan dan serangannya
Engkau adalah harapan semua manusia
Kau kuasai Timur dan Barat
Dari ujung Kostantinopel sampai daratan Babel

Kekuatan khilafah Islam di Andalus, menjadikan mereka sering dimintai bantuan raja-raja kristen Spanyol yang sedang bertikai. Raja Ordono yang kalah perang melawan Raja Sancho, mendatangi khalifah al-Mustanshir guna memohon bala bantuan untuk mengembalikan kekuasaannya. Abdul Malik bin Sa’îd menuturkan hal ini dalam puisi di bawah ini:

Raja mereka mendatanginya
Meminta perlindungan dan bantuannya
Tunduk atas kebesarannya
Aman dari semua musuhnya
Dan dengan kerelaannya
Dapat menghinakan musuhnya

Pada masa keemasan sebelum masa perwalian, khilafah Andalus mempunyai kekuatan tentara yang tidak tertandingi, yang kalau bergerak laksana gemuruh gelombang samudera, seperti yang diungkapkan oleh Ismail bin Badar:

Dan gemuruh tentaranya
Bak gelombang lautan
Yang memakan daratan sahara

Bungkamnya sastra dalam berbagai tema ini menunjukkan kematian tema-tema tersebut dari kehidupan Andalus. Pengemisan bantuan ke kerajaan-kerajaan Spanyol Utara, penyerahan kota-kota dan benteng-benteng ke tangan kristen sebagai imbalannya mengindikasikan kelemahan khilafah Islam di Andalus.
Meskipun demikian, dalam masa ini ada beberapa tema yang berkembang pesat sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat yang poya-poya. Namun perkembangannya sangat kosong dari nilai dan etika, seperti seruan kepada minuman, ekspresi kejadian-kejadian dalam tempat-tempat hiburan dan pengumbaran nafsu yang telanjang. Karena masyarakat yang poya-poya, kecenderungan sastra pun demikian, suka pada kebebasan dan ekspresi kenikmatan jasmani dan material dalam wujud minuman, tari perut dan sebagainya.
Diantara tema yang digemari adalah al-mujûn (tingkah laku yang hina). Sebagai contoh bisa kita simak dialog antara Abdul Malik bin Syahid dengan al-Manshur mengenai budak-budak wanita tawanan perang. Abdul malik berkata:

Meskipun tua, aku tetaplah muda
Kulindungi engkau dari segla bencana dengan diriku
Buatlah aku berterima kasih atas kebaikanmu
dan kirimkan wanita tawanan tercantik buatku

Al-manshur pun mengirim hadiah yang diminta dengan berkata:

Telah kukirim tiga perawan
Yang putihnya laksana matahari siang
Bersiap dan bersungguhlah
Karena engkau tua bangka
Di ujung sore meninggalkan siang
Semoga Allah menjagamu dari
Keletihan mencumbunya

Betapa transparan sekali permintaan panglima perang yang langsung dikabulkan wali khalifah. Dialog semacam ini sudah sering terjadi di tempat-tempat hiburan antar pemabuk atau penyair, tapi bukan dalam lingkungan khalifah. Kediktatoran membuat penguasa semena-mena termasuk perusakan moral masyarakatnya.
Diantara tema yang berkembang pada masa ini juga, pujian palsu dengan tujuan mencari penghasilan dari berpuisi. Hal ini bisa berkembang karena khalifah penguasa memerlukan pujian untuk mendongkrak popularitas dimata rakyat. Maka segala kejadian selalu dibesar-besarkan melalui karya sastra, terutama puisi, meskipun penuh dengan kemunafikan. Seperti yang dikatakan Ibnu Darrâj al-Qasthaly ketika memuji al-Manshur:

Pujian dan syukurku terhadapmu
Bukanlah karena kekuasaan yang kau berikan
Tapi karena pengorbanan jiwamu yang melindungiku
Ketulusanmu adalah karunia terbesar
Laksana surya yang menunjukiku dalam kegelapan
Tiada bayangan karunia yang membelitku selainmu
Tiada aliran air yang mengenyangkanku selainmu

Al-Darrâj diangkat al-Manshur memerintah di Qasthal, dan dia selalu memuji al-Manshur setinggi langit untuk mengekalkan kekuasaannya, meskipun penuh dengan kemunafikan.
Hal ini juga bisa kita lihat dari pujian Ibnu al-Hannâth kepada khalifah Qasim bin Hamûd agar diberi perlindungan dan bekal:

Dunia menjadi terang dengan cahaya khalifah
Dengan cahaya itu
Rembulan kebenaran selalu nampak
Meskipun cahaya siang telah menghilang

Minum-minuman keras sudah sangat membudaya dalam masyarakat Andalus. Dari rakyat kecil sampai khalifah. Seruan kepada minuman sangat nyaring terdengar. Tradisi jahiliah yang dengan susah payah diberantas al-qur’an pun berkembang lagi yang pada awal pemerintahan Islam di Andalus sangat dihindari. Lihat saja nikmatnya minum yang digambarkan oleh Ubadah bin Mâi al-Samâ berikut:
Adakah yang lebih indah
Dari gelas-gelas arak yang tergenggam di tangan
Hai pelayan, siramlah aku dengannya
Dan ambillah perak dan emas
Nafsu pun tenggelam bersamanya
Buih keharuman selalu muncul di permukaannya
Membuat gelasnya kekal di tangannya

Puisi yang bertemakan minuman arak dan sejenisnya merupakan salah satu trend baru di Andalus yang dipelopori oleh Abbas bin Nâsih dengan mengadopsi trend ini dari Timur yang dipelopori Abu Nawas, Abu al-‘Atâhiyah dan kawan-kawan. Namun pesan-pesannya bukan dititik-beratkan pada seruan untuk berbuat, tapi sekedar ekspresi dari perenungan imajinasi tentang arak, seperti ketika penyair pra Islam menggambarkan sosok wanita ideal dalam puisi erotisnya. Penggambaran wanita tersebut tidak didasari oleh nafsu sama sekali, tapi lebih menginformasikan kepada pembaca sosok ideal wanita Arab secara keseluruhan. Sosok wanita yang hanya ada dalam fikiran dan angannya, dan belum tentu ada dalam dunia realita.
Meskipun hal serupa berkembang juga sebelumnya, tapi masih banyak sastra yang mem-balance seruan kepada minuman dan justru menganjurkan untuk menjauhinya. Puisi ‘Ubadah di atas bisa kita bandingkan dengan sikap khalifah al-Muntashir terhadap para peminum yang justru dibencinya:

Para peminum telah menyempitkan dadaku
Bencana mereka membakar hidupku

Disamping perkembangan sastra yang tanpa nilai di atas, ada sastra yang berkembang dengan segala kesadarannya terutama para penyair yang sadar benar akan bahaya politik kediktatoran kala itu. Seperti kritik politik yang diungkapkan dalam penggalan bait berikut:

Wahai Bani Umaiyah..!!
Dimanakah bulan-bulan malammu,
Bintang-bintangmu
Singa-singa telah punah dari hutanmu
Dan raja pun menggenggam kancil dan rubahmu

Bait di atas untuk mengkritik orang-orang Bani Umawiyah karena mereka hanya sebagai bulan-bulanan dan perebutan antara orang-orang Barbar dan kristen Spanyol. Kadang kritik tersebut memakai bahasa yang lugas dan terang-terangan seperti peringatan keras akan bahaya situasi yang tergambar dalam penggalan berikut:

Waktunya tiba telah dekat
Kehancuran sudah diambang pintu
Semua kekhawatiranmu telah datang
Dan raja pun tak berdaya
Dalam genggaman dan kekuasaan
Sang ibu suri…

Karena banyaknya pembersihan musuh-musuh politik dan pembakaran sastrawan, ilwuwan dan filosof, dalam masa ini juga berkembang tema-tema permohonan belas kasihan dari penguasa, seperti penggalan bait al-Mushafy kepada al-Manshur berikut:
Penyesalan membawaku menghadapmu
Wahai sebaik-baik penolong
Kemarahanmu terlalu besar kepadaku
Maka bentangkanlah maaf buatku
Sesungguhnya tiada raja yang dimintai belas kasihnya
Kecuali akan segera memberikannya

Nasionalisme dalam Elegi atas Runtuhnya kota-kota

Sejak masa Thawâif, kekuatan Islam di selatan Spanyol semakin melemah, sementara kekuatan kristen di utara Spanyol semakin solid dan besar. Tidak heran jika dalam peperangan yang terjadi setelah itu, kerajaan Islam pun selalu kalah dan banyak sekali kota-kota yang jatuh ke tangan mereka. Masjid diruntuhkan, gereja ditegakkan, upeti diwajibkan atas orang-orang Islam, dan bencana kemanusiaan tidak bisa dihindarkan. Bencana politik dan kemanusiaan ini menginspirasikan spirit nasionalisme dalam diri satrawan. Jatuhnya kota dan peradaban ke tangan musuh mereka rasakan seakan terpisahnya organ dari tubuh mereka bahkan terpisah dari ruh mereka. Apalagi ditambah dengan kekhawatiran dalam kehilangan harta paling berharga yaitu Islam.
Kesedihan dengan jatuhnya kota-kota Andalus, menimbulkan kreasi-kreasi elegi sebagai ekspresi kesedihan sekaligus penyadaran masyarakat agar bersatu merebut kembali harta mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang fakih yang penyair Abdullah bin Farag al-Yahshuby yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-‘Assâl ketika jatuhnya kota Prester tahun 1063 M dalam elegi berikut:

Dan kekuatan para musyrik pun telah menembus kita
yang menjadikan kita terdiam seribu bahasa
Dengan kuda-kuda mereka menghacurkan istana
sehingga tiada bersisa baik gunung maupun setapak tanah
Mereka gerebek penghuni rumah-rumah
Tiada hari tanpa serangan yang membabi buta
Hati para muslim pun di puncak ketakutannya
Sementara pemimpin kita sangat penakut menghadapinya
Berapa tempat telah dirampasnya
Tanpa belas kasihan terhadap bayi, anak kecil, para lansia dan perawan
Berapa banyak bayi susuan yang terceraikan dari ibunya
Sehingga menimbulkan kegaduhan dan lenguhan aniaya
Berapa banyak anak yang telahir dengan ayah yang
Terpanggang di atas debu perang dan kasur sahara
Berapa banyak wanita dipaksa keluar dari rumah sucinya
Dipertontonkan dengan ketelanjangan

Bait-bait di atas ibarat dentang bel yang menyadarkan kita pada bencana kemanusiaan yang terjadi di kota Prester, sehingga mengobarkan api perjuangan untuk menyelamatkannya. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu al-‘Assâl yang terpaksa mengungsi ke Granada saat kejatuhan kota Toledo tahun 1094 M yang kejatuhannya diibaratkan dengan pakaian yang carut marut, dia berkata:

Wahai penduduk Andalus, tunggangilah kuda-kudamu
Karena menetap di Toledo adalah kesalahan
Pakaian akan ditanggalkan dari ujung-ujungnya
Dan aku melihat pakaian Andalus tertanggalkan dari pusatnya
Barang siapa yang meng-akrabi kejahatan tidak akan lepas dari akibatnya
Bagaimana manusia bisa hidup dengan ular-ular dalam satu kantong?

Meskipun bati-bait di atas mendapatkan kritikan pedas dari sisi estetisnya, namun cukup keras dalam mengingatkan akan bahaya ketidakberdayaan, seakan-akan berkata: jika kalian tetap tidak berdaya dan tunduk maka adalah kesalahan besar untuk tetap tinggal di dalam Toledo. Maka kumpulkan kekuatan dan satukan barisan untuk mengembalikan hak kalian atas kota Toledo. Kalau tidak, maka kalian tidak layak untuk mengaku sebagai penduduknya dan tinggal di dalamnya. Dengan demikian, menjauhi Toledo merupakan kewajiban agar kalian menjaga kesucian dan kemulian dari hinanya ketakutan kalian.

Contoh lain adalah 72 bait puisi yang dilantunkan oleh al-Jundy al-Majhûl dalam elegi Toledo, dengan menganggap kejatuhannya sebagai bencana yang disebabkan karena dosa dan maksiat orang Islam sendiri, sebagai mana firman Allah: “Dan kamu tidak akan terkena musibah kecuali karena perbuatanmu” dia berkata:

Kita adalah manusia-manusia yang layak mendapatkan balasan
Karena kefasikan besar dan maksiat jangak
Yang mengalir deras dalam darah kita

Meskipun demikian, al-Jundy tetap mengobarkan api jihad membela negara atas nama agama dan akidah yang telah dihinakan musuh:

Dendamlah atas agamamu dan menangkanlah
Elang-elang akan melindungi korban-korban darimu

Bencana ketiga adalah jatuhnya kota Valencia ibukota Andalus Timur tahun 1094 M. Mr. Kampitor bahkan membakar ulama’nya seperti Ahmad bin Jahhâf dan memenjarakan sebagainnya. Ibnu ‘Alqamah menggambarkan bencana tersebut dalam bukunya ‘al-bayan al-wadhih fi al-mulimm al-fâdih’. Penyair Hisyam al-Kinâni pun tidak ketinggalan membuat elegi yang bahkan banyak dipelajari oleh para orientalis Eropa seperti Engel Palencia dan Jalian Rebiera.
Ibnu Khafâjah banyak membuat elegi saat keruntuhan Valencia ini, diantara penggalan puisinya adalah:

Hai rumahku, pekaranganmu telah penuh dengan musuh
Kerusakan dan api telah membakar dirimu
Jika seorang melihat ke dalam dirimu
Akan jelas panjangnya bencana dan praharamu
Pendudukmu terkubur dalam batu-batu
Lembaran sejarah pun menuliskan
Bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dulu

Kota Valencia ini dapat direbut kembali oleh dinasti Murâbithûn tahun 1101 M.
Berbeda dengan elegi sastra Timur yang mementingkan keindahan struktur bahasa saja tanpa didasari dengan emosi dan refleksi yang nyata, elegi Andalus cenderung mudah dan tidak berbelit-belit, namun secara estetik masih didasari dengan fantasi dan ilustrasi yang jujur yang mengekspresikan apa adanya, dengan sebab-sebab berikut:
1. Sangat eratnya hubungan para penyair dengan tanah airnya, sehingga keruntuhannya menimbulkan kesedihan yang tak ternilai
2. Sebab agama, jatuhnya kota-kota ini di tangan musuh yang notabene berlainan agama menyebabkan mereka berapi-api berpuisi menghidupkan nasionalisme. Karena agama bagi mereka adalah harta termahal bahkan melebihi jiwa mereka sendiri

Penutup

Sebagai penutup, sengaja saya kutipkan penggalan puisi Abu al-Baqâ’ al-Rundy untuk melihat betapa keadaan menjadi terbalik akibat dari kezaliman orang Islam dan betapa besar tragedi kemanusiaan di Andalus:

Kemarin, mereka adalah raja di negerinya
Sekarang, mereka adalah hamba di wilayah musuhnya
Kalau engkau melihat mereka kebingungan tanpa petunjuk
Karena berbagai warna kehinaan dilakui mereka
Kalau engkau mendengar sayatan tangis mereka
Hatimu pun miris karena kesedihan
Betapa banyak ibu dan anak jadi terpisah
Seperti terpisahnya ruh dari badan
Betapa banyak bayi yang tak sempat tersinari mentari
Mereka laksana batu korundum dan karang
Sang atheis menggiringnya kepada kebencian
Mata menangis dan hati pun luka
Hati menjadi tenggelam dalam kesedihan
Jika terdapat di dalamnya Islam dan iman

Sebagaimana yang pernah dikatakan Umar bin Khatthab bahwa puisi bukan hanya sebagai poetical work, tapi merupakan data dan dokumentasi sejarah manusia yang bisa ditelusuri kebenaran peristiwa-peristiwa yang dikandungnya. Maka melihat realitas sejarah Andalus, harus juga melihat karya-karya puisi yang timbul sepanjang sejarahnya. Meskipun tulisan ini kurang menggambarkan timbul tenggelamnya sastra Andalus, tapi bisa dipakai untuk sekedar melihat kegetiran sejarah Islam di Andalusi akibat ulah pemeluknya sendiri. Wallahu A’lam!!

Daftar Bacaan:

1. Ahmad Haikal, Dr. al-Adab al-Andalusy min al-fath ilâ suqût al-khilâfah, dâr al-Ma’ârif, cet. 12, Kairo, 1997
2. Galal Hijazy, dr. Fi al-Adab al-Andalusy Târîkhuhu wa Nushûsuhu, Dâr al-Busyrâ, 1998.
3. Muhammad Ridhwân al-Dâyah, Dr. Târikh al-Naqd al-Adaby fi al-Andalus, Muassasah al-Risâlah, scet. 2, Syiria, 1993.
4. Ahmad al-Muqry al-Maghriby, Nafh al-Thayb min Ghusn al-Andalus al-Rathîb, Pen. Azhariyah, Kairo, 1302H.
read more...

Indonesia-Malaysia dan "Adu Domba" Media

Duduk bersama dalam menyelesaikan masalah Indonesia-Malaysia jauh lebih utama dibanding dengan cara jalanan



Oleh: Afriadi Sanusi, Sept 2009


Alkisah, seorang raja terkejut menemukan isterinya tidur setilam dengan seorang budak hambasahaya miliknya pada suatu malam. Sebagai seorang raja yang memiliki kuasa penuh waktu itu dia bisa saja membunuh isteri dan budaknya hanya dengan sekalihunusan pedang. Dia tidak jadi menjatuhkan hukuman itu sebelum adanyapengadilan sah yang mendengar pengakuan kedua belah pihak. Karena ketika itu dalam hatinya dia mendengar ayat “"Yaayyuhalladzina aamanu in jaa'akum faa siqun binaba'in fatabayyanuu an tushibuqauman bijahaalatin fatush bihuu ala maa fa'altum naa dimiin." (Haiorang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasiq (satu kaum)membawa berita, maka hendaklah kamu selidiki, jangan sampai kamu membalas kepada suatu kaum dengan kebodohan, maka kamu kelak akan merasa menyesal). [QS:Alhujuraat:6].

Ayat ini adalah penegasan wajibnya kaum Muslim melakukan koreksi kebenaran setiap mendapat/menerima berita yang kita terima.

Singkat cerita,setelah dibangunkan, sang raja menggunakan kuasanya dengan mengatakan, “kenapakalian melakukan semua ini!...” Sang isteri mengatakan kepada suaminya, “Sayakira orang yang tidur diatas tilam tadi adalah kakanda, karena menyangka kandatidak jadi pergi berburu ke hutan,. Si hamba sahaya juga menjawab, “Tadi sore di saat saya membersihkan kamar tuan, teringin sekali rasanya saya menyentuh tilam yang empuk ini, setelah ku sentuh aku pun ingin mencoba bagaimana rasanyaberada di atas tilam ini. Aku pun tertidur karena terlalu capek dan karena merasa betapa enaknya berada diatas tilam tuan yang empuk ini.”

Dengan berkat hidayah dari Allah SWT. Ayat Al-Quran diatas telah menyelamatkan anak manusiadari melakukan kesalahan yang fatal. Sang raja tidak jadi membunuh dua insanyang sebenarnya tidak berdosa dan dua insan yang secara logis harus mati di tangan penguasa tidak jadi mati. Dalam Islam fitnah dikatakan lebih kejam dari pembunuhan,ini karena fitnah bisa menyebabkan berlakunya permusuhan, dendam, perang dan berbagai kehancuran lainnya karena boleh membunuh ratusan bahkan ribuan nyawayang tidak berdosa.

Dalam falsafahkita di ajarkan “berikan 25% kepercayaanmu terhadap apa yang kamu dengar,berikan 50% kepercayaanmu terhadap apa yang kamu lihat dan percayalah setelahdiselidiki atau dikaji.”

Indonesia-Malaysia Pra Nasionalisme

Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Negara Malaysia pada 31 Agustus 1957, Asia Tenggara memiliki hubungan sejarah yang sangat rapatdan panjang. Kerajaan Iskandar Muda pada tahun 1607 hingga tahun 1936 kekuasaannya meliputi Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, Melaka. Kerajaan Melayu Riau Lingga kekuasaannya meliputi Riau, Johor dan Pahang pada abad ke19. Terdapat ikatan kekeluargaan yang kuat antara masyarakat dan keluarga diRaja Riau, Bugis, Betawi, Johor, Rao, Pahang, Selangor, Jambi, Minangkabau,Negeri Sembilan, Jawa dan sebagainya

Penghijrahan dalam kawasan Asia Tenggara ketika itu adalah perkara biasa, tiada batassempadan negara. Terdapat kesamaan dari segi alam, ekonomi, politik, sejarah masa lalu, bentuk tubuh, warna kulit, budaya, bahasa dan agama. Belum ada mengenal sistem pasport, visa dan fiskal ketika itu. Asia Tenggara pula pernah menjadi sebuah kesatuan ketika air laut turun.

Banyak orang-orang Melayu Malaysia sekarang ini nenek moyangnya berasal dari Riau, Bugis, Betawi, Johor, Rao, Jambi, Minangkabau, Negeri Sembilan, Jawa dan sebagainya.Mereka masih menggunakan bahasa daerahnya dalam kalangan keluarga dan masih mengamalkan adat budaya suku kaumnya. Diantara mereka banyak yang menjadi orang penting seperti menjadi Perdana Menteri, Menteri, Profesor dan sebagainya.Tetapi mereka bukan berasal dari Indonesia, karena Indonesia baru saja lahir 63tahun yang lalu yaitu pada 17 Agustus 1945.

Orang Melayu Rao(Rawa) Malaysia, misalnya, banyak terdapat di negara bagian Perak, Kedah, Pulau Pinang, Kuala Lumpur, Selangor, Kelantan, Pahang Malaysia. Begitu juga dengan orang Minangkabau, Riau, Jambi, Kerinci, Mandailing dan sebagainya yang mendominasi tempat-tempat tertentu di Malaysia. Mereka masih mempertahankanadat, budaya dan bahasa suku kaumnya. Mereka melakukan hubungan kekeluargaan yang erat. Saling mengunjungi antara keluarga di Indonesia-Malaysia. Ini karenahubungan persaudaraan dan darah yang telah terjalin ribuan tahun lalu tidakakan bisa dipisahkan oleh perbedaan batas teritory negara, politik dan rasa nasionalisme sempit yang baru lahir beberapa puluh tahun ini saja.

Ulama memberikanperanan yang kuat dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan persaudaraan yang didasarkan pada kalimat tauhid ketika itu. Sampai sekarang masih diabadikan dalam buku-buku sejarah tentang peranan ulama melayu, Riau, Bugis, Betawi,Johor, Rao, Pahang, Selangor, Jambi, Minangkabau, Negeri Sembilan dalambuku-buku sejarah dalam menyebarkan ajaran Islam di Kepulauan Melayu ini. Para ulama menyatukan umat dengan ajaran Islam, melalui murid dan melalui jalinan perkawinan yang memiliki ramai keturunan dan ahli keluarga. Hubungan kekeluargaan yang kuat didasari pada hubungan darah, persemendaan, hubungansuku kaum, dan adat budaya. Sebagai tokoh, mereka memiliki pengaruh yang tiadaterhingga hingga saat ini.

Peran Berita Media

Meminjam istilah Dr P. Ramlee, aktor film, sutradara, penyanyi, dan sastrawan yang dikenal di Malaysia dan memiliki ikatan keluarga Aceh, “Sedangkan lidah lagi tergigit apalagihubungan suami isteri.” Menurutnya, semakin dekat hubungan kita dengan sesuatu,maka semakin sering terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.

Hari-hari inimedia –khususnya di Indonesia—disibukkan dengan pemberitakan yang beraromapermusuhan dan bisa saja meledakkan hubungan antara Indonesia dan Malaysia.

Banyak konflikberlaku setelah terbentuknya dan lahirnya kedua negara yang disebabkan olehperbedaan politik, kepentingan dan kekuasaan yang dipanaskan oleh media massa.Konflik ini secara umumnya hanya menguntungkan penguasa dan jelas dirakan merugikanrakyat. Hubungan darah, persaudaraan dan seagama tidak seharusnya di keruhkan dengan kepentingan politik dan kekuasaan. Media memainkan peranan yang kuat dalam memperkeruh hubungan kedua-dua negara. Banyak dari berita yang disiarkanoleh media selama ini lebih bersifat provokatif.

Dalam banyak hal, pemberitaan di Indonesia sering tak berimbang di banding kenyataan yangada. Berita penyiksaan pembantu rumah tangga dan pelecehan terhadap TKW, umumnya dilakukan oleh majikan mereka yang bukan Islam. Sebaliknya, banyak juga TKW yang bernasib baik sampai di hajikan majikannya di Malaysia. Namun berita seperti ini jelas tak menarik dibanding satu-dua kasus penyiksaan. Memang sebaiknya pemerintah kita menyediakan lapangan pekerjaan yang mencukupi guna menghalangi tenaga Indonesia dengan SDM rendah keluar negara. Dalam beberapa kasus, banyak kejahatan manipulasi TKI/TKW justrudilakukan saudara-saudara kita sendiri asal Indonesia. Misalnya manipulasi umurTKW agar bisa berangkat ke Malaysia.

Berita tentang kebudayaan Indonesia yang dikabarkan telah diklaim Malaysia, seharusnya menjadiperingatan pada kita sendiri. Sebab ini,lebih karena kelemahan pemerintah RI sendiri dalam mendata dan menghargaibudaya local kita.

Sama halnya dengan masalah sengketa perbatasan. Karena tidak adanya data dan karenalemahnya pemerintah dalam menjaga pulau-pulaunya, menyebabkan puluhan tahunlamanya pulau-pulau itu tak terurus dan dibiarkan begitu saja tanpa pembangunanseperti yang dilakukan oleh negara lain.

Memang sebaiknya kasus ini membuat pemerintah lebih berhati-hati dan menjadikan pelajaranberharga. Seharusnya, pemerintah segera membuat peraturan tertulis dengan Malaysiaguna melindungi TKW kita, pula kita dan budaya kita. Kita tak bisa semena-mena marahatas banyak kasus yang ditimbulkan oleh TKW sementara pemerintah tidak memperbaikiekonomi yang menyebabkan banyak pekerja non-profesional menyebrang ke Negara lain.

Kedutaan juga harusmemainkan diplomasinya secara optimal dengan meningkatkan kemampuan intelijen guna meredam upaya adu domba kedua negara seperti kasus lagu Indonesia Raya yangsempat diramaikan.

Penulis melihatada pihak-pihak tertentu menangguk di air keruh dengan memanfatkan konflikMalaysia-Indonesia untuk mencari keuntungan secara politik, kekuasaan ataupunmateri.

Pemerintah juga harus bersikap tegas, mengadili media yang sering menyebarkan berita panas danprovokatif yang mengganggu kenyamanan dan ketentraman hubungan kedua negara.

Penulis akui apayang dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia terkadang memang sesuatukesalahan dan kelewat batas. Akan tetapi sesuatu yang mengherankan adalah di saat satu persatu pulau-pulau kecil Indonesia tenggelam karena pasirnya di angkut secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan ke Singapura oleh para mafia, hanyasedikit media dan pejabat kita menjadikan ini sebagai perhatian berharga.

Duduk Bersama

Kesimpulannya, kasus seperti ini jelas tak bisa diselesaikan dengan cara jalanan. Kedua Negara,harus duduk bersama, saling menghormati, saling berjumpa dan berdiskusi terhadapmasa depan keduanya.

Pemerintah keduanegara tidak seharusnya melibatkan rakyat untuk memikirkan apa yang menjaditugas dan kewajiban mereka. Membicarakan nasib dan kepentingan masing-masing jauh lebih baikdan sangat penting daripada hanya menanggapinya provokasi melalui media massa yang hanya akan memperkeruh suasana.

Indonesia sangat memerlukan Malaysia dan Malaysia juga sangat memerlukan Indonesia, adalah dua perkara yang tidak bisa dinafikan. Puluhan ribu TKI Indonesia ada di Malaysia, ribuan pelajar dan mahasiswa juga ada di Malaysia. Sama halnya warga Malaysia di Indonesia. Saling memerlukan ini akan menjadi sebuah energi positif dan saling menguntungkan kalau saja berlaku kerjasama pemimpin dan masyarakat keduanegara.

Selebihnya, media massa, seharusnya berada di garda depan pembangunan masyarakat dan menciptakan iklim saling menguntungkan kedua Negara. Berita fitnah atau berbau adu-domba, bukanlah solusi bagi permasalahan sesungguhnya. Tindakan itu juga adalah sebuah implementasi rasa nasionalisme yang salah sebab hanya akanmerugikan dan menghancurkan hubungan kedua Negara. Seolah-olah dengan perang semuanya bisa selesai.

Islam sangat membenci fitnah. Bahkan mendudukannya jauh lebih kejam daripada pembunuhan.Sebab akibat dari fitnah bisa menimbulkan perpecahan, permusuhan, kebencian, dendam, perang yang bisa membunuh ratusan bahkan ribuan nyawa yang tidakberdosa lainnya.

Dengan kemampuan dan efek yang sangat luar biasa, media massa memang berpeluang melahirkan fitnahdan saling bermusuhan. Sebaliknya, tak semua fakta yang disajikan, bisa melahirkan maslahat apalagi harus disampaikan. Sebab ada fakta yang berdampak positif dan ada pula fakta yang justru bisa berimplikasi negative bagi jutaan orang. Tergantung bagaimana melihatnya. Di sinilah diperlulan wisdom bagi parapengelola media massa.

Sejarah banyakmencatatkan berbagai perpecahan, permusuhan, peperangan yang akhirnya berbunuh-bunuhan mulai dari antara dua orang sahabat, suami istri sampai ketingkat negara yang disebabkan oleh peranan media. Semoga ini menjadi pelajaran berharga kita semua.

Penulis berasal dari Sumatera Indonesia, sekretaris Muhammadiyah Malaysia dan mahasiswa S3 bidang Politik Islam di UniversitiMalaya Kuala Lumpur
read more...

Sunnahnya Membaca Qunut Shubuh

A. Hukum Membaca Qunut Subuh
Di dalam madzab syafii sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’tidal rekaat kedua adalah sunnah ab’ad. Sunnah Ab’ad artinya diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan bagi yang lupa mengerjakannya disunnahkan menambalnya dengan sujud syahwi.
Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :
“Dalam madzab syafei disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”
Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam syafei berkata :
“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.
Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :
“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.
Demikian keputusan hokum tentang qunut subuh dalam madzab syafii.
B. Dalil-Dalil Kesunattan qunut subuh
Berikut ini dikemukakan dalil dalil tentang kesunnatan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Hadits dari Anas ra.
“Bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya.Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”
Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan mereka juga ikut meriwayatkannya dan mereka juga ikut menshahihkannya. Diantara ulama yang mengakui keshahihan hadis ini adalah Hafidz Abu Abdillah Muhammad ali al-balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di kitabnya serta imam Baihaqi. Hadits ini juga turut di riwayatkan oleh Darulquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih.
حدثنا عمرو بن علي الباهلي ، قال : حدثنا خالد بن يزيد ، قال : حدثنا أبو جعفر الرازي ، عن الربيع ، قال : سئل أنس عن قنوت (1) النبي صلى الله عليه وسلم : « أنه قنت شهرا » ، فقال : ما زال النبي صلى الله عليه وسلم يقنت حتى مات قالوا : فالقنوت في صلاة الصبح لم يزل من عمل النبي صلى الله عليه وسلم حتى فارق الدنيا ، قالوا : والذي روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قنت شهرا ثم تركه ، إنما كان قنوته على من روي عنه أنه دعا عليه من قتلة أصحاب بئر معونة ، من رعل وذكوان وعصية وأشباههم ، فإنه قنت يدعو عليهم في كل صلاة ، ثم ترك القنوت عليهم ، فأما في الفجر ، فإنه لم يتركه حتى فارق الدنيا ، كما روى أنس بن مالك عنه صلى الله عليه وسلم في ذلك وقال آخرون : لا قنوت في شيء من الصلوات المكتوبات ، وإنما القنوت في الوتر
Dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yg dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi).
2. Hadits dari Awam Bin Hamzah dimana beliau berkata :
“Aku bertanya kepada Utsman –semoga Allah meridhoinya- tentang qunut pada Subuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku. Aku bertanya :” Fatwa siapa?”, Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum”.
Hadits ini riwayat imam Baihaqi dan beliau berkata : “Isnadnya Hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar Ra. Dari beberapa jalan.
3. Hadits dari Abdullah bin Ma’qil at-Tabi’i
“Ali Ra. Qunut pada shalat subuh”.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dan beliau berkata : “Hadits tentang Ali Ra. Ini shahih lagi masyhur.
4. Hadits dari Barra’ Ra. :
“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh dan maghrib”. (HR. Muslim).
5. Hadits dari Barra’ Ra. :
“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh”. (HR. Muslim).
Hadits no. 4 diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib. Imam Nawawi dalam Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma ulama menunjukan bahwa qunut pada shalat maghrib sudah mansukh hukumnya”.
6. Hadits dari Abi rofi’
“Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya serta membaca doa dengn bersuara”. (HR Baihaqi dan ia mengatakan hadis ini shahih).
7. Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :
1. “Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim).
8. Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :
“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).
9. Hadits dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“Aku diajari oleh rasulullah Saw. beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir yakni : Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan selain mereka dengan isnad yang shahih)
10. Hadits dari Ibnu Ali bin Thalib ra. (Berkaitan dengan hadist no.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin Thalib ra. Beliau berkata :
“Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai oleh bapakku pada waktu qunut diwaktu shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).
11. Hadist doa qunut subuh dari Ibnu Abbas ra. :
Tentang doa qunut subuh ini, Imam baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni ibnu abbas dan selainnya:
“Bahwasanya Nabi Saw. mengajarkan doa ini (Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya) kepada para shahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut di shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).
Demikianlah Beberapa Dalil yang dipakai para ulama-ulama shlusunnah dari madzab syafiiyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh.
Dari sini dapat dilihat keshahihan hadis-hadisnya karena dishahihkan oleh Imam-imam hadits ahlusunnah yang terpercaya. Hati-hati dengan orang-orang khalaf akhir zaman yang lemah hafalan hadisnya tetapi mengaku ahli hadis dan banyak mengacaukan hadis-hadis seperti mendoifkan hadis shahih dan sebaliknya.
C. Tempat Qunut Subuh dan nazilah adalah Sesudah ruku rekaat terakhir.
Tersebut dalam Al-majmu Jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku. Ini adalah ucapan Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali ra.hum.
Mengenai Dalil-dalil qunut sesudah ruku :
1. Hadits dari Abu Hurairah :
“Bahwa Nabi Qunut sesungguhnya sesudah ruku” (HR. Bukhary muslim).
2. Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :
“Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim).
3. Hadis dari Anas Ra.
“Bahwa Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku pada subuh sambil mendoakan kecelakaan keatas bani ‘ushayyah” (HR. Bukhary Muslim).
4. Hadits Dari Awam Bin hamzah dan Rofi yang sudah disebutkan pada dalil 4 dan 5 tentang kesunnatan qunut subuh.
5. Riwayat Dari Ashim al-ahwal dari Anas Ra. :
“Bahwa Anas Ra. Berfatwa tentang qunut sesudah ruku”.
6. Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :
“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).
7. Hadits Riwayat dari Salim dari Ibnu umar ra.
“Bahwasanya ibnu umar mendengar rasulullah SAW apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat terakhir shalat subuh, beliau berkata : “Ya Allah laknatlah sifulan dan si fulan”, sesudah beliau menucapkan sami’allahu liman hamidah. Maka Allah menurunkan Ayat: “Tidak ada bagimu sesuatu pun urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang dzalim “ (HR Bukhary).
Terlihat jelas Bahwa pada qunut nazilah maupun qunut subuh, dilakukan setalah ruku. Adapun ada riwayat yang menyatakan sebelum ruku, Imam Baihaqi mengatkan dalam kita Al-majmu :
“Dan orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadis, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalanya para khalifah yang memperoleh petunjuk – radhiyallahu ‘anhum- pada sebagian besar riwayat mereka, wallahu a’lam”.
D. Jawaban untuk orang-orang yang membantah sunnahnya qunut subuh
1. Ada yang mendatangkan Hadits bahwa Ummu salamah berkata :
“Bahwa Nabi Saw. melarang qunut pada waktu subuh “ (Hadis ini Dhoif).
Jawaban : Hadist ini dhaif karena periwayatan dari Muhammad bin ya’la dari Anbasah bin Abdurahman dari Abdullah bin Nafi’ dari bapaknya dari ummu salamah. Berkata darulqutni :”Ketiga-tiga orang itu adalah lemah dan tidak benar jika Nafi’ mendengar hadis itu dari ummu salamah”. Tersebut dalam mizanul I’tidal “Muhammad bin Ya’la’ diperkatakan oleh Imam Bukhary bahwa ia banyak menhilangkan hadis. Abu hatim mengatakan ianya matruk” (Mizanul I’tidal IV/70).
Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Baihaqi hadisnya matruk. Sedangkan Abdullah adalah orang banyak meriwayatkan hadis mungkar. (Mizanul I’tidal II/422).
2. Ada yang mengajukan Hadis bahwa Ibnu Abbas ra. Berkata :
“Qunut pada shalat subuh adalah Bid’ah”
Jawaban : Hadis ini dhaif sekali (daoif jiddan) karena imam Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Laila al-kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada hadits yang lain Ibnu abbas sendiri mengatakan :
“Bahwasanya Ibnu abbas melakukan qunut subuh”.
3. Ada juga yang mengetangahkan riwayat Ibnu mas’ud yang mengatakan :
“Rasulullah tidak pernah qunut didalam shalat apapun”.
Jawaban : Riwayat ini menurut Imam Nawawi dalam Al majmu sangatlah dhoif karena perawinya terdapat Muhammad bin Jabir as-suhaili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadis. Tersebut dalam mizanul I’tidal karangan az-zahaby bahwa Muhammad bin jabir as-suahaimi adalah orang yang dhoif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam Nasa’i. Imam Bukhary mengatakan: “ia tidak kuat”. Imam Ibnu Hatim mengatakan : “Ia dalam waktu akhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang”. (Mizanul I’tidal III/492).
Dan juga kita dapat menjawab dengan jawaban terdahulu bahwa orang yang mengatakan “ada” lebih didahulukan daripada yang mengatakan “tidak ada” berdasarkan kaidah “Al-mutsbit muqaddam alan naafi”.
4. Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut satu bulan shj berdasarkan hadith Anas ra, maksudnya:
“Bahawasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah rukuk sambil mendoakan kecelakaan ke atas beberapa puak Arab kemudian baginda meninggalkannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Jawaban : Hadith daripada Anas tersebut kita akui sebagi hadith yg sahih kerana terdapat dlm kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yg menjadi permasalahan sekarang adalah kata:(thumma tarakahu= Kemudian Nabi meninggalkannya).
Apakah yg ditinggalkan oleh Nabi itu?
Meninggalkan qunutkah? Atau meninggalkan berdoa yg mengandungi kecelakaan ke atas puak-puak Arab?
Untuk menjawab permasalahan ini lah kita perhatikan baik2 penjelasan Imam Nawawi dlm Al-Majmu’jil.3,hlm.505 maksudnya:
“Adapun jawapan terhadap hadith Anas dan Abi Hurairah r.a dlm ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan ke atas orang2 kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka shj. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran spt ini mesti dilakukan kerana hadith Anas di dlm ucapannya ’sentiasa Nabi qunut di dlm solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’
adalah sahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”
Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahawasanya beliau berkata, maksudnya:
“Hanyalah yg ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.”
Tambahan lagi pentafsiran spt ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yg berbunyi, maksudnya:
“Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”
Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahawa qunut Nabi yg satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu solat subuh.
5. Ada juga orang-orang yg tidak menyukai qunut mengemukakan dalil hadith Saad bin Thariq yg juga bernama Abu Malik Al-Asja’i, maksudnya:
“Dari Abu Malik Al-Asja’i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kpd bapaku, wahai bapa! sesungguhnya engkau pernah solat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Usman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kufah selama kurang lebih dari lima tahun. Adakah mereka melakukan qunut?. Dijawab oleh bapanya:”Wahai anakku, itu adalah bid’ah.” Diriwayatkan oleh Tirmizi.
Jawaban :
Kalau benar Saad bin Thariq berkata begini maka sungguh menghairankan kerana hadith2 tentang Nabi dan para Khulafa Rasyidun yg melakukan qunut banyak sangat sama ada di dlm kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi.
Oleh itu ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan terpakai di dalam mazhab Syafie dan juga mazhab Maliki.
Hal ini disebabkan oleh kerana beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula sahabat baginda. Manakala hanya Thariq seorang shj yg mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah.
Maka dalam masalah ini berlakulah kaedah usul fiqh iaitu:
“Almuthbitu muqaddimun a’la annafi”
Maksudnya: Orang yg menetapkan lebih didahulukan atas orang yg menafikan.
Tambahan lagi orang yg mengatakan ADA jauh lebih banyak drpd orang yg mengatakan TIDAK ADA.
Seperti inilah jawapan Imam Nawawi didlm Al-Majmu’ jil.3,hlm.505, maksudnya:
“Dan jawapan kita terhadap hadith Saad bin Thariq adalah bahawa riwayat orang2 yg menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh itu wajiblah mendahulukan mereka”
Pensyarah hadith Turmizi yakni Ibnul ‘Arabi juga memberikan komen yang sama terhadap hadith Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan:”Telah sah dan tetap bahawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut dlm solat subuh, telah tetap pula bahawa Nabi ada qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk, telah tetap pula bahawa Nabi ada melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta Sayyidina Umar mengatakan bahawa qunut itu sunat, telah pula diamalkan di Masjid Madinah. Oleh itu janganlah kamu tengok dan jgn pula ambil perhatian terhadap ucapan yg lain daripada itu.”
Bahkan ulamak ahli fiqh dari Jakarta yakni Kiyai Haji Muhammad Syafie Hazami di dalam kitabnya Taudhihul Adillah ketika memberi komen terhadap hadith Saad bin Thariq itu berkata:
“Sudah terang qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yg ada maka yg bid’ah itu adalah meragukan kesunatannya sehingga masih bertanya-tanya pula. Sudah gaharu cendana pula, sudahh tahu bertanya pula”
Dgn demikian dapatlah kita fahami ketegasan Imam Uqaili yg mengatakan bahawa Abu Malik itu jangan diikuti hadithnya dlm masalah qunut.(Mizanul I’tidal jil.2,hlm.122).
6. Kelompok anti madzab katakan : Dalam hadis-hadis yang disebutkan diatas, qunut bermakna tumaninah/khusu’?
Jawab : Dalam hadis2 yang ada dlm artikel salafytobat smuanya berarti seperti dalam topik yang dibicarakan “qunut” = berdoa pada waktu berdiri (setelah ruku)…
qunut dalam hadis-hadis tersebut bukan berati tumaninah atau ruku.!!!
Mengenai hadis “qunut” yang bermakna tumaninah/khusu/dsb
Diriwayatkan dari Jabir Ra. katanya Rasulullah saw. bersabda : afdlalu shshalah thuululqunuut
artinya : “shalah yg paling baik ialah yang paling panjang qunutnya “
Dalam menjelaskan ayat alqur’an :
“Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dalam keadaan “qanitiin” (al-baqarah 238) (HR Ibnu abi syaibah, muslim, tirmidzi, Ibnu Majah seperti dalam kitan Duurul mantsur).
Mujtahid Rah. maksud qanitiin disini termasuklah ruku, khusyu, rekaat yang panjang/lama berdiri, mata tunduk kebawah, takut kepada Allah swt.
Makna qanitiin juga berarti diam atau senyap. Sebelum turun ayat ini , masih dibolehkan berbicara dalam shalat, melihat keatas, kebawah, kesana-kemari, dsb…(lihat hadist bukhary muslim). Setelah turun ayat ini, perkara-perkara tersebut tidak dibolehkan. (Duurul mantsur)
E. Pendapat Imam Madzab tentang qunut
1. Madzab Hanafi :
Disunatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sebelum ruku. Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunatkan. Sedangkan qunut Nazilah disunatkan tetapi ada shalat jahriyah saja.
2. Madzab Maliki :
Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku, tetapi boleh juga dilakukan setelah ruku. Adapun qunut selain subuh yakni qunut witir dan Nazilah, maka keduanya dimakruhkan.
3. Madzab Syafii
Disunnatkan qunut pada waktu subuh dan tempatnya sesudah ruku. Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan ramadhan.
4. Madzab Hambali
Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku. Adapun qunut subuh tidak disunnahkan. Sedangkan qunut nazilah disunatkan dan dilakukan diwaktu subuh saja.
Semoga kita dijadikan oleh Allah asbab hidayah bagi kita dan ummat seluruh alam.

read more...

ZUHUD, Apa dan Mengapa?

 Oleh: Zul Fahmi, 2 Oktober 2009

I. PENGERTIAN

A. Menurut bahasa adalah
1. Lawan kata dari menyenangi,
2. Meninggalkan sesuatu dan berpaling darinya,
3. Berpalingnya kecintaan terhadap sesuatu kepada yang lebih baik darinya
4.Berpaling dari sesuatu untuk membebaskannya, menghinakannya, dan mengangkat keinginan darinya
B. Menurut istilah adalah tak tergantungnya keinginan hati dan jiwa dengan kenikmatan kehidupan dunia, kegemerlapannya dan keindahannya.

II. DALIL-DALIL TENTANG ZUHUD

A. Al Qur’an
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {16} وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُوَأَبْقَى {17}
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al A’la :16-17)

مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللهُ يُرِيدُ اْلأَخِرَةِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {67}
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Anfal: 67)

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ {79}
Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". (QS. Al Qoshos : 79)


أَلَمْ تَرَإِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقُُ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلآَ أَخَّرْتَنَآ إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً {77}
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa :77)

اللهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ مَتَاعٌ
Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (QS. Ar Ro’du : 26)


وَقَالَ الَّذِي ءَامَنَ يَاقَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ {38} يَاقَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعُُ وَإِنَّ اْلأَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ {39}
Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghofir : 38-39)

B. Al Hadits:

عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ أَخِي بَنِي فِهْرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ .
Dari al Mustaurid bin Saddad alfahri berkata, bersabda Rasulullah saw. : ”Tidaklah dunia dibanding dengan akherat kecuali seperti salah seorang darimu mencelupkan jarinya dilaut maka lihatlah apa yang tersisa (HR. Muslim)

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Dari Sahl bin Sa’din As Sya’idi berkata:”seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata:”Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku amalan yang jika aku mengerjakannya maka aku akan dicintai Allah, dan dicintai manusia, maka beliau bersabda:”Zuhudlah didunia niscaya kamu akan dicintai Allah, Dan zuhudlah apa yang ada ditangan manusia niscaya kau akan dicintai oleh menusia (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya )

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ (رواه مسلم)
Dari Jabir bahwa nabi SAW memasuki sebuah pasar dan manusia berada disekelilinganya dan dihadapkan seekor anak kambing tuli lagi mati, maka dihidangkannya dan diambil telinganya baliau bersabda:”Siapa darimu yang menginginkan ini dengan dirham? Mereka berkata kami tak menginnginkannya dan tak condong kepadanya. Beliau bersabda: “Apakah kalian mau itu untukmu? Demi Allah seandainya anak kambing itu hidup akan menjadi aib, karena ia tuli bagaimana pula dia sekarang mati?” Beliau bersabda:” Demi Allah, dunia itu lebih hina dihadapan Allah dibanding ini bagimu” (HR. Muslim)

III. PERKATAAN SALAF TENTANG ZUHUD

1. Berkata Abu Muslim Al Kholani,: Bukanlah kezuhudan di dunia itu dengan mengharamkan yang halal, dan membuang harta akan tetapi kezuhudan di dunia itu jika apa yang ada ditangan Allah lebih diyakini dari pada apa yang ada ditangannya, dan jika kamu terkena musibah kamu lebih berharap kepada pahalanya dan simpanan modal musibah itu.”
2. Berkata Fudhail bin Iyadl :
أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَاعَنِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
” Asli dari zuhud ialah ridlo kepada Allah azza wa jalla”.
3. Berkata Al Hasan :
”Orang yang zuhud itu jika melihat seseorang berkata dia lebih baik dariku”.
4. Berkata Wuhaib bin Al Warod:
الزُّهْدُ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَأْسَى عَلَى مَا فَاتَ مِنْهَا وَ لاَ تَفْرَحْ بِمَا أَتَاكَ مِنْهَا
”Zuhud didunia itu kamu tidak putus asa terhadap apa yang hilang darinya dan tidak gembira terhadap yang datang padamu darinya”.
5. Sufyan bin Uyainah menjawab ketika ditanya tentang siapa yang zuhud di dunia:
مَنْ إِذَا َأنْعَمَ عَلَيْهِ شَكَرَ وَ إِذَا ابْتَلَى صَبَرَ
”Siapa yang diberi nikmat bersyukur dan jika diberi ujian bersabar”.
6. Berkata Sufyan Ats Tsauri:
الزُّهْدُ فِى الدُّنْيَا قِصَرُ الأَمَلِ لَيْسَ بِأَكْلِ الْغَلِيْظِ وَ لاَ لُبْسِ الْعَبَاءِ
”Zuhud di dunia itu memendekkan angan-angan, bukan dengan makan yang kasar, dan memakai pakaian yang tebal”.
7. Berkata Imam Ahmad: ”Zuhud di dunia memendekkan angan-angan” dan ai berkata di lain waktu: ”memendekkan angan-angan dan berputus asa terhadap apa yang ada di tangan manusia”.
7. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِى الأَخِرَةَ
”Zuhud itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akherat “.
9. Berkata Ibnu Jalai: ” Zuhud adalah melihat dunia dengan picingan mata, maka dunia menjadi kecil di matamu, dan mudah bagimu berpaling darinya”.
10. Berkata Abu Sulaiman Ad Daroni :
تَرْكُ مَا لاَ يُشْغِلُ عَنِ اللهِ
”Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang menyibukkan dari Allah”.
11. Berkata Ruwaim Junaid: ”Zuhud mengecilkan dunia dan menghapus bekasnya dalam hati”.

IV. POTRET KEZUHUDAN RASULULLAH SAW.

Yahya bin Hakim bercerita padaku berkata Abu Dawud bercerita padaku Dia berkata: ”Saya diberitahu Amru bin Murrah dari Ibrahim dari Alqomah dari Abdullah berkata: ”Nabi SAW tidur di atas tikar maka membekas pada kulitnya, saya berkata: “Demi bapak dan ibuku ya Rasulullah, seandainya anda memberitahukan pada kami maka akan kami beri tempat tidur yang dapat melindungi anda.” Berkata Rasulullah SAW: ”Tidaklah aku dan dunia ini melainkan saya dan dunia ini seperti pejalan kaki yang berlindung dibawah pohon kemudian istirahat dan meninggalkannya.”
Baihaqi mengeluarkan dari Aisyah RA. Ia berkata: ”Masuk dirumahku wanita Anshor, dia melihat tempat tidur Rasulullah SAW dari selimut yang kusut, maka dia mengirimkan kepadaku tempat tidur dari wol, Rasulullah masuk dan bertanya:”Apa ini wahai Aisyah? Ia berkata:”Saya menjawab:”Wahai Rasulullah fulanah dari Anshor masuk dan melihat tempat tidurmu, maka dia pergi dan mengirimkan barang ini kepadaku. Rasul berkata: ”Kembalikan wahai Aisyah, demi Allah jika aku ingin maka Allah akan memberiku gunung emas dan perak.
Anas RA berkata:”Rasulullah SAW memakai kain wol yang ditambal, Anas berkata:”Rasulullah SAW makan makanan yang tidak enak rasanya dan memakai pakaian yang berwarna merah kehitam-hitaman yang kasar. Dikatakan pada Hasan Apakah al basa’ itu? Dijawab:’Gandum yang kasar.”
Dari Aisyah RA berkata: Diberikan kepada Rasulullah segelas susu dan madu, maka Rasulullah berkata: “Dua minuman dalam satu tempat dan dua darah dalam satu gelas ?!! Tidak ada keperluan bagiku padanya sesungguhnya saya tidak menginginkan untuk mengharamkannya akan tetapi saya membenci jika Allah menanyakan padaku tentang kelebihan dunia pada hari akherat saya tawadlu’ kepada Allah, barang siapa tawadlu’ kepada Allah maka Allah akan mengangkatnya dan barang siapa takabbur kepada Allah maka akan direndahkan, dan barang siapa sederhana akan dikayakan oleh Allah dan barang siapa yang banyak mengingat mati akan dicintai Allah

V. POTRET ZUHUD PARA SALAF

1. Abu Bakar Assidiq RA.
Al Bazzar mengeluarkan dari Zaid bin Arqom RA dia berkata:”Kami bersama AbuBakar RA dan kami memberinya air dan madu, tatkala beliau memegangnya menangislah tersedu-sedu sampai kami menyangka ada sesuatu padanya serta kami tidak menanyainya tentang sesuatu itu. Ketika telah reda tangisnya kami berkata:”Wahai kholifah Rasulullah SAW apa yang membuatmu menangis ini? Beliau menjawab: ”Ketika saya bersama Rasulullah SAW saya melihatnya menahan sessuatu untuk dirinya dan saya tak melihat sesuatupun maka saya bertanya:”Wahai Rasulullah apa yang saya lihat padamu, anda menahan sesuatu untuk diri anda dan saya tak melihat sesuatupun? Beliau bersabda: ”Dunia mendekat-dekat padaku maka aku berkata:”Jauhlah dariku, maka dunia berkata:”Sesungguhnya kamu tidaklah menyusulku,” berkata Abu Bakar: “Maka itu peringatan bagiku dan saya khawatir telah menyelisihi perintah Rasulullah SAW dan dunia mendatangiku.”
Ahmad mengeluarkan dalam kitab zuhud dari Aisyah RA berkata:”Abu Bakar RA meninggal tak meninggalkan dinar dan dirham, sebelumnya beliau telah mengambil uangnya kemudian disumbangkan kepada baitul mal.
Dari Ibnu Saad, dari Atho’ bin As Saaib berkata:”Ketika Abu Bakar lagi bai’at pagi-pagi dan diatas pundaknya kain bergaris dan dia pergi ke pasar, Umar bertanya: Mau kemana anda akan pergi? Dijawab :”Pasar” Umar berkata:” Anda mau berbuat apa sedangkan anda telah diserahi urusan kaum muslimin?! Dia menjawab: “Dari mana aku memberi makan keluargaku ? ...”
2. Umar bin Khottob RA
Para sahabat menginginkan untuk menambah gaji pada Umar namun Umar menolaknya .
Dari Al Hasan dia berkata: Umar bin Khottob RA berpidato selagi dia sedang menjadi kholifah sambil mengenakan mantel yang ada sepuluh tambalannya.
Ibnu Saad mengeluarkan dari Anas RA berkata:”Saya melihat Umar RA beliau waktu itu amirul mukminin sedang menjauhkan satu sho’ kurma, beliau memakannya sampai memakan kurma yang paling buruk.
3. Utsman bin Affan RA
Abu Nuaim mengeluarkan pada kitabnya Al Hilyah 1/60 dari Abdul Malik bin Syidad berkata:”Saya melihat Utsman bin Affan hari Jumat diatas mimbar, memakai mantel Adnani yang murah harganya yakni empat dirham atau lima dirham.
Dari Hasan ditanya tentang siapa yang sedang tiduran di masjid dijawab :”Saya melihat Utsman bin Affan RA sedang tiduran di masjid, beliau saat itu kholifah beliau bangun dan tikar membekas punggungnya maka dikatakan inikah amirul mukminin?! Inikah amirul mukminin.
Dari Syurohbil Bin Muslim Bahwa Utsman RA memberi makan manusia dengan makanan yang berasal dari pemerintah, dan beliau masuk rumah makan, cuka dan minyak.
4. Ali bin Abi tholib.
Ali bin Abi Tholib berkata:”Ketika aku menikahi Fatimah, aku dan dia tidak memiliki tempat tidur kecuali selembar kulit domba. Kami tidur diatas lembaran kulit itu pada malam hari dan kami melipatnya pada siang hari sebagai wadah air . aku tidak memiliki pembantu selain dirinya dia harus membuat adonan roti.
Ali bin Abi Tholib adalah sahabat yang paling zuhud sekalipun begitu dia memilki empat istri dan belasan wanita tawanan.
Ibnu Mubarok mengeluarkan dari Zaid bin Wahhab berkata: ”Ali RA keluar memakai mantel dan surban yang telah ditambal dengan potongan kain lalu ditanyakan padanya, dijawab oleh Ali Ra. Sesungguhnya aku memakai kain ini supaya jauh dari kebanggaan dan kesombongan dan lebih baik bagiku untuk sholat, dan sunnah untuk orang mukmin.
5. Abu Ubaidah bin Jarroh
Makmar berkata:”Ketika Umar datang kesyam disambut manusia dan pembesar-pembesarnya, berkata Umar :”mana saudaraku? Mereka berkata:” Siapa”? Dijawab: ”Abu Ubaidah” Mereka berkata: ”Sekarang dia datang, ketika dia datang Umar datang dan taanuk (Rangkulan leher) kemudian masuk rumahnya, maka Umar tidak melihat di rumahnya kecuali pedang, tameng dan panahnya.
6. Hasan bin Ali
Ia termasuk golongan orang zuhud walaupun memiliki banyak budak perempuan, mencintai perempuan dan menikahi banyak perempuan.
7. Said bin Musayyib
Said bin Musayyib berdagang minyak dan meninggalkan empat ratus dinar. Dia berkata:”Aku meninggalkannya untuk menjaga kehormatanku dan agamaku.
8. Abdullah bin Mubarok
Abdullah bin Mubarok adalah termasuk pemimpinnya para zahid yang mempunyai banyak harta dan membiayai haji ikhwan-ikhwannya dan mengembalikan uang yang dikumpulkan ikhwannya.
9. Uwais Al Qorny
Dari Asbah bin Zaid berkata:”Jika sore hari Uwais berkata malam ini untuk ruku’ maka ia ruku’ sampai pagi , dan jika datang sore hari ia berkata:Ini malam untuk sujud maka dia sujud sampai pagi dan jika datang sore hari dia sedekahkan kelebihan makanan dan minuman yang ada dirumahnya kemudian dia berkata, ”ya Allah barang siapa mati kelaparan janganlah hukum aku, dan barang siapa yang mati tidak berbaju jangan pula hukum aku.

10. Umar bin Abdul Aziz
Berkata Maimun bin Mihron: “Saya bersama Umar bin Abdul Aziz selama enam bulan aku tidak melihat selendangnya berganti-ganti, dia mencuci dari Jum’at ke Jum’at dan dikasih minyak zafaron.
11. Al Qosim bin Muhaimiroh
Berkata Al Qosim bin Muhaimiroh: ”Tak pernah terkumpul di meja makanku dua macam makanan sama sekali.”
Begitulah kezuhudan para salaf dalam hal makanan, pakaian, sampai pada pemerintahan atau jabatan yang terkenal pada salaf tentang kezuhudan dalam jabatan adalah Abdurohman bin Auf, Abu Dzar Al Ghiffari dan yang lain-lain yang tidak menginginkan jabatan. Itulah sekilas gambaran zuhud dari Rasulullah dan pengikut-pengikutnya. Mereka meninggalkan kehidupan dunia bukan karena mereka tidak mempu meraihnya tetapi semata-mata karena mengharapkan akherat nanti. Salah satunya yang diperoleh Nabi SAW pada setiap peperangan, diantaranya perang Hunain Nabi mendapat seperlima bagian kekayaan dari jumlah ghonimah yang terdiri dari jumlah tawanan musuh enam ribu orang onta berjumlah dua puluh empat ribu ekor kambing sejumlah empat puluh ekor lebih, logam perak berjumlah empat ribu uqiyah.Belum lagi peperangan-peperangan yang lain dimasa Rasulullah sebanyak 68 kali, 28 kali dibawah pimpinan beliau langsung dan selebihnya dengan mengutus utusan-utusan. Tetapi walaupun demikian ketika Rasulullah SAW meninggal dunia baju besinya digadaikan untuk tanggungan hutangnya kepada seorang yahudi yang jumlah hutangnya berjumlah tiga puluh sok atau tujuh puluh lima kilogram gandum. Dan para sahabat beliau, kepada mereka telah didatangkan dunia dengan segala perhiasannya seolah-olah dunia datang memaksa agar mereka tergoda, namun dunia itu telah gagal memperdayakan mereka. Begitu pula generasi-generasi berikutnya yang gemilang.

VI. DERAJAT ZUHUD

1. Diantara manusia ada yang zuhud didunia sekalipun sebenarnya ia masih ada kesenangan dengan dunia. Namun ia tetap berusaha untuk tetap zuhud. Orang semacam ini dinamakan mutazahhid yaitu merupakan awal untuk zuhud
2. Zuhud didunia secara sukarela tanpa memaksakan dirinya untuk zuhud. Tapi ketika ia melihat zuhudnya maka justru malah berpaling, lalu merasa ujub terhadap dirinya. Dia melihat dirinya telah meniggalkan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang nilainya lebih besar darinya, seperti orang yang meninggalkan satu dirham untuk mendapatkan dua dirham, ini termasuk zuhud yang kurang.
3. Ini merupakan derajat zuhud yang paling tinggi yaitu zuhud dengan suka rela, benar-benar zuhud dalam zuhudnya. Dia tidak melihat dunia sebagai sesuatu yang tidak berguna, seperti orang yang meninggalkan sesobek kain perca untuk mendapatkan ganti mutiara, dia tidak melihatnya sebagai tukar tambah, dunia yang dibandingkan akherat lebih baik dari sesobek kain perca jika dibandingkan dengan mutiara. Ini merupakan gambaran kesempurnaan zuhud.

VII. PEMBAGIAN ZUHUD JIKA DIKAITKAN DENGAN SESUATU YANG DISENANGI.

Ada tiga derajat:
1. Zuhud untuk mendapatkan keselamatan dari siksa, selamat pada waktu hisab dan bencana yang akan dihadapi manusia. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut.
2. Zuhud untuk mendaptkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang berharap. Mereka meninggalkan kenikmatan duniawi untuk mendapatkan kenikmatan ukhrowi
3. Ini zuhud yang tertinggi yaitu tidak zuhud untuk membebaskan diri dari penderitaan dan bukan untuk mendapatkan kenikmatan tetapi untuk bertemu dengan Allah. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang yang berpengetahuan. Kenikmatan melihat Allah jika dibandingkan dengan kenikmatan jannah, seperti kenikmatan raja di dunia dan pemegang kekuasaan, dibandingkan kenikmatan dapat menguasai seekor burung atau mainan.

VIII. ZUHUD SEBAGAI KEBUTUHAN HIDUP
Kebutuhan hidup yang pokok ada tujuh macam :
Makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas, sarana untuk menikah, harta dan kedudukan. Inilah rinciannya :
1. Ketahuilah bahwa hasrat orang yang zuhud terhadap makanan sekedar yang dapat menghilangkan rasa lapar dan yang bisa menegakkan badannya dan bukan bermaksud mencari kenikmatan
2. Pakaian, orang zuhud mencukupkan diri dengan pakaian yang dapat melindungi badannya dari serangan hawa dingin dan panas serta menutup aurot. Tidak ada salahnya dia sedikit berhias agar keadaannya yang melarat tidak membuat dirinya menjadi buah bibir.
3. Tempat tinggal. Orang yang zuhud ada tiga macam dalam kaitannya dengan tempat tinggal. Yang paling tinggi adalah orang zuhud yang tidak menuntut tempat tinggal yang khusus bagi dirinya. Dia cukup puas berada dipojok-pojok masjid seperti Ashabus Shuffah. Yang pertengahan adalah orang zuhud yang menuntut tempat yang khusus bagi dirinya seperti gubug yang terbuat dari daun-daun kurma atau yang sejenis. Yang paling rendah adalah orang zuhud yang menuntut rumah permanen dan bilik khusus. Jika dia menuntut bangunan yang luas dan atapnya yang tinggi berarti dia sudah keluar dari batasan zuhud dalam masalah tempat tinggal
4. Perkakas rumah tangga. Orang zuhud harus membatasi diri pada tembikar, menggunakan satu bejana, makan dalam satu piring dan minum dengan piring itu pula. Siapa yang mempunyai banyak perkakas rumah tangga dan tinggi nilainya maka dia telah keluar dari batasan zuhud
5. Sarana pernikahan. Tidak ada maknanya bagi zuhud jika tidak mau menikah sama sekali, begitu pula tentang berapapun jumlah istrinya.
6. Harta adalah sangat penting dalam kehidupan ini. Orang zuhud sangat membatasi diri dalam masalah harta agar tidak terlalu menyita waktu namun begitu banyak orang-orang sholeh yang juga aktif berdagang dan sekaligus menjaga kehormatan dirinya dari hal-hal yang hina.
7. Kedudukan. Setiapa manusia harus memiliki kedudukan sekalipun hanya dihati pembantunya. Kesibukan orang zuhud dalam zuhudnya tentu akan mendatangkan kedudukan itu sendiri didalam hati. Karena itu dia harus waspada dari kejahatannya.

IX. TANDA-TANDA ZUHUD
Ibnu Mubarok berkata:”Zuhud yang paling utama ialah menyembunyikan zuhud. Untuk itu perlu diperhatikan tanda-tandanya:
1. Tidak boleh menmpakkan kegembiraan karena yang ada dan tidak boleh menampakkan kesedihan karena tidak ada. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hadid : 23. Ini merupakan tanda zuhud dalam kaitannya dengan harta.
2. Harus menyeimbangkan diri terhadap orang yang memuji dan mencelanya. Ini merupakan tanda zuhud dalam kaitannya dengan kedudukan.
3. Kebersamaannya hanya dengan Allah. Biasanya didalam hatinya ada kelezatan karena ketaatan.

X. KESALAHAN DALAM MEMAHAMI ZUHUD
Sebagian manusia salah dalam memahai zuhud, Mereka mengira bahwa Islam menyukai kefakiran bagi muslimin dan menyuruhnya untuk melebihkan dan mengutamakan hal tersebut. Tashowwur yang salah ini mengakibatkan mereka memutuskan keinginan untuk beramal dan menghasilkan serta memakmurkan dunia, mereka suka berada dipojok-pojok, ujung-ujung atau lorong, tempat pertapaan rahib dengan dalih menyendiri untuk beribadah dan mengutamakan amalan akherat, selanjutnya menjangkitlah penyakit malas dan selalu ingin istirahat serta penyakit tamak pada pemberian manusia dan pujiannya dan apa-apa yang mereka curahkan padanya dari makanan dan minuman.
Sebab kesalahan mereka adalah tidak melihat pada nash-nash yang satu sama lainnya saling melengkapi, mereka hanya menyandarkan dan mengandalkan nash-nash tentang zuhud di dunia dan enggan dalam memahaminya. Dan mereka tidak melihat pada nash-nash yang menganjurkan pada amal, bekerja, memakmurkan dunia, dan mengambil sebab-sebab kekuatan, dan nash-nash yang menganjurkan setelah itu untuk mencurahkannya pada jalan Allah setelah mencari hal-hal yang halal untuk zuhud di dunia mencari ridlo Allah.



XI. SASARAN DARI ZUHUD DI KEHIDUPAN DUNIA

1. Memotifasi seorang muslim untuk mencurah apa yang dimiliki dijalan Allah, berkorban dari kemewahannya, keindahannya, dan kelezatannya untuk mencari ridho Allah. Islam menyuruh untuk zuhud di dunia bukanlah menyuruh untuk meninggalkan amal dan kerja yang menghasilkan dan berbuah dan bukan pula menyuruh untuk fakir, lemah, kerendahan akan tetapi zuhud itu tarbiyah akhlaqiyah yang menjadikan seorang muslim kepada keutamaan dalam pencurahan dan pemberian, dan jauh dari bakhilan kikir dan hal-hal yang menyebabkan hitamnya hati, sombong, ujub, merasa tinggi dihadapan manusia, melampaui batas, dan lain-lain.
2. Islam menyuruh zuhud didunia untuk qona’ah pada pemberian Allah dalam rizqi, berpegang teguh terhadap yang diizinkan Allah dalam bekerja, dan tarbiyah kepada sikap menerima terhadap apa-apa yang ada ditangan manusia serta tidak tamak terhadap apa-apa yang dipunyai orang lain, dan tidak melihat padanya dengan rasa hasrat dan rasa ingin memilikinya.
3. Islam menyuruh zuhud didunia ini untuk mengalihkan hati orang mukmin dari ketergantungan terhadap sesuatu hal-hal keduniawiaan, kelezatannya dan kenikmatannya supaya menghadap akherat dan kecintaan Allah serta keriridloanNya sampai seorang mukmin memandang bahwa keridloan Allah didapat dengan mengosongkan dari tujuan-tujuan kehidupan dunia untuk tercapai keridloan Allah serta mengutamakan pahala-pahala akherat.
Wallahu A’lam bis Showab
read more...